Ikhbar.com: Islam memandang buruh tidak hanya sebagai seorang pencari nafkah, melainkan memberikan kedudukan mulia sebagai khalifah fil ardh atau pemimpin di bumi. Predikat tersebut bisa didapatkan jika mereka berpegang teguh pada prinsip tanggung jawab dan niat yang benar dalam setiap menjalankan pekerjaannya.
Islam tidak memisahkan antara pekerjaan duniawi dan tugas spiritual. Seorang buruh diberi peran untuk memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan. Kerja keras dalam menjalankan profesinya adalah wujud nyata dari menjalankan amanah kekhalifahan.
Dengan demikian, profesi bukan sekadar alat mencari penghasilan, tetapi juga sarana untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan umat manusia.
Dalam QS. Al-Baqarah: 30, Allah Swt berfirman:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan bahwa kata “khalifah” berarti badal (pengganti) yang menjalankan tugas Allah di bumi, seperti menegakkan hukum, menjaga ketertiban, dan mengatur kehidupan.
Dalam menjelaskan ayat ini, Imam At-Thabari mengutip berbagai riwayat, termasuk dari Ibn Abbas, Mujahid, dan Qatadah, yang mengatakan bahwa manusia menggantikan makhluk sebelumnya (seperti jin) yang dahulu berbuat kerusakan di bumi. Dalam tafsir ini, makna kekhalifahan bukan hanya memimpin manusia lain, tetapi juga mencakup menjaga bumi dari kerusakan dan ketidakadilan, sesuai dengan kehendak Allah.
Baca: Gerakan Buruh dalam Sejarah Islam
Hak buruh
Sebagai khalifah di bumi, buruh tidak hanya memiliki kewajiban untuk bekerja, tetapi juga berhak mendapatkan perlindungan dan penghormatan atas jerih payahnya. Islam sangat menekankan pentingnya memenuhi hak-hak buruh, seperti upah yang layak, perlakuan adil, dan penghargaan terhadap kerja keras mereka.
Dalam Islam, hak buruh adalah bagian dari keadilan sosial yang harus ditegakkan. Mengabaikan hak mereka berarti mengkhianati amanah kekhalifahan yang telah Allah tetapkan bagi umat manusia.
Hak-hak buruh ini telah dijelaskan dalam QS. As-Syu’ara: 183. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
“Janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi.”
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib Tafsir menyoroti dua aspek pada ayat tersebut. Pertama, penjelasan tentang pelanggaran terhadap hak individu, seperti mencurangi dalam timbangan dalam berdagang.
Kedua, tentang pelanggaran terhadap hak sosial yang lebih luas, seperti menyebabkan kerusakan di muka bumi, baik secara moral, ekonomi, maupun sosial.
Imam Fakhruddin menegaskan bahwa keadilan ekonomi adalah fondasi tegaknya peradaban.
Baca: Api Neraka tak Berani Sentuh ‘Tangan Buruh’
Etika bos dan karyawan
Islam mengimbau kepada para bos dan karyawan untuk sama-sama membangun prinsip saling menghormati dan saling menunaikan hak serta kewajiban.
Seorang pimpinan atau majikan wajib memperlakukan buruh dengan adil, tidak membebani di luar batas kemampuan, serta memberikan upah yang pantas dan tepat waktu. Sebaliknya, karyawan juga dituntut untuk bekerja dengan amanah, jujur, dan profesional.
Di beberapa ayat Al-Qur’an, setidaknya terdapat tiga prinsip etika yang harus dijaga dalam hubungan keduanya. Pertama, prinsip “adl” atau keadilan. Hal ini seperti yang tercantum dalam QS. An-Nahl: 90. Allah Swt berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.”
Prof. KH Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan, melalui ayat ini, Allah Swt memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam segala aspek kehidupan. Keadilan di sini mencakup pemberian hak tiap-tiap pihak secara proporsional dan tidak merugikan.
Jika dikaitkan dengan hubungan kerja, ini berarti majikan harus memberikan upah yang sesuai dengan kesepakatan dan tidak menunda pembayaran hak buruh.
Kedua, prinsip ihsan atau kebaikan, yaitu memperlakukan karyawan lebih dari sekadar kewajiban formal, dengan sikap yang penuh penghargaan dan kemanusiaan.
Prinsip tersebut masih dalam rangkaian QS. An-Nahl: 90. Menurut Prof. Quraish, prinsip ihsan mengajarkan umat Islam untuk memperlakukan orang lain dengan sikap yang baik, penuh kasih sayang, dan tanpa pamrih.
Dalam hubungan kerja, ini tercermin dalam sikap majikan yang tidak hanya memenuhi kewajiban secara formal, tetapi juga menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap kesejahteraan buruh.
Ketiga, prinsip rahmah atau kasih sayang, yang berarti majikan dan karyawan saling memiliki rasa empati dan perhatian terhadap kondisi masing-masing. Sikap kesalingan ini tercantum dalam QS. Al-Anbiya: 107. Allah Swt berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Melalui ayat ini, Prof. Quraish mengajak umat Muslim untuk meneladani Nabi Muhammad yang selalu menerapkan prinsip rahmat dalam setiap aktivitasnya.
Menurutnya, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw tidak terbatas di ranah agama, tetapi juga tercermin dalam sikap dan perilaku yang penuh kasih sayang, adil, dan peduli terhadap sesama. Rasulullah Saw menjadi teladan dalam memperlakukan semua makhluk dengan baik, tanpa membedakan suku, ras, agama, maupun status sosial.
Baca: 5 Hadis tentang Buruh
Dalam dunia kerja, rahmat ini tercermin dalam sikap memahami kesulitan, memberi kelonggaran saat dibutuhkan, dan menciptakan suasana kerja yang manusiawi. Ketiga prinsip ini menjadikan hubungan kerja bukan sekadar transaksi, melainkan ibadah sosial yang menguatkan nilai keadilan dan kasih sayang di tengah masyarakat.
Dengan menegakkan etika ini, hubungan kerja diharapkan tidak lagi sekadar transaksi ekonomi, melainkan bagian dari membangun masyarakat yang adil dan beradab.