Ikhbar.com: Ekonomi dunia saat ini sedang di ambang krisis besar akibat memanasnya perang dagang global antar-negara adidaya. Kondisi ini tidak hanya memicu ketegangan politik, tetapi juga mengguncang stabilitas ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Meski demikian, umat Islam tidak sepatutnya dihantui rasa takut dengan adanya perang dagang yang mengancam kestabilan ekonomi. Sebab, sejatinya kitab suci Al-Qur’an memuat segala tuntunan yang mampu membawa umat menuju kebaikan dan kedamaian, baik di dunia, maupun di akhirat.
Baca: Krisis Ekonomi dan Perang Dagang dalam Sejarah Islam
Dampak perang dagang
Perang dagang yang terjadi antarnegara besar kerap kali berimbas langsung kepada masyarakat kecil yang tidak memiliki daya tahan ekonomi memadai. Ketika tarif impor dinaikkan dan akses perdagangan dibatasi, harga kebutuhan pokok melonjak dan distribusi barang terganggu.
Fenomena ini juga bisa saja berdampak pada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Mereka kesulitan mendapatkan bahan baku dengan harga terjangkau atau bahkan kehilangan pasar ekspor yang selama ini menopang pendapatan mereka.
Dalam jangka panjang, ketimpangan ekonomi makin melebar dan beban hidup rakyat kecil pun kian berat. Perang dagang bukan sekadar konflik antarnegara, tetapi menjadi ancaman nyata bagi kestabilan sosial dan kesejahteraan masyarakat bawah.
Al-Qur’an jauh-jauh hari telah menjelaskan larangan praktik manipulatif untuk memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak sah, termasuk melalui sistem perdagangan yang merugikan negara lain. Dalam QS. Al-Mutaffifin: 1-3. Allah Swt berfirman:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ. الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ. وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ
“Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi.(Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azim menyebut bahwa rangkaian ayat ini merupakan teguran keras terhadap perilaku curang dalam urusan ekonomi, khususnya dalam aktivitas jual beli.
Ia menjelaskan bahwa istilah “al-mutaffifin” merujuk kepada mereka yang tidak jujur saat menakar atau menimbang, yakni mengambil keuntungan lebih saat membeli, tetapi mengurangi hak orang lain saat menjual. Ini mencerminkan bentuk ketidakadilan yang nyata dalam transaksi.
Dalam penjelasannya, Imam Ibnu Katsir juga menyinggung sejarah kaum Nabi Syu’aib As yang dibinasakan karena melakukan penipuan serupa. Menurutnya, kisah Ini menjadi pelajaran bahwa kecurangan ekonomi bukan hanya dosa individual, tetapi bisa mengundang kehancuran kolektif suatu masyarakat apabila dibiarkan merajalela.
Baca: Tetap Tenang di Tengah Perang Dagang
Bahaya keserakahan
Perang dagang dinilai sebagai cerminan nyata dari kerakusan global, yakni sebuah bentuk keserakahan sistemik yang ditegur keras dalam banyak ayat Al-Qur’an. Di sejumlah ayat, Allah Swt mengingatkan manusia bahwa kerakusan adalah akar dari kehancuran, baik individu maupun peradaban.
Salah satu peringatan Allah Swt akan bahaya keserakahan tertuang dalam QS. Al-Humazah: 1-3. Allah Swt berfirman:
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ. ۨالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ. يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ
“Celakalah setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia (manusia) mengira bahwa hartanya dapat mengekalkannya.”
Dalam Tafsir al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa frasa “alladzi jama‘a mala wa ‘addadah” adalah menggambarkan sosok yang rakus harta, menghitung-hitung kekayaannya dengan penuh kesombongan, dan menyangka bahwa kekayaan itu dapat menjamin keabadian hidupnya.
Baca: Jejak Islam dalam Sejarah Ekonomi-Bisnis Dunia
Sikap spiritual menghadapi krisis
Di tengah krisis ekonomi, Al-Qur’an hadir sebagai pedoman yang membentuk mental tangguh bagi setiap pemeluknya. Ia mengajarkan kesabaran dalam menghadapi kesempitan, sehingga seseorang tidak mudah putus asa atau berkeluh kesah ketika diuji.
Dalam setiap usaha, Al-Qur’an menanamkan nilai tawakal, menuntun hati agar bersandar penuh kepada Allah Swt setelah berikhtiar semaksimal mungkin. Ketika kecukupan menyapa, Al-Qur’an membimbing jiwa untuk bersyukur, bukan malah lalai atau tinggi hati.
Terkait hal ini, umat Muslim bisa merenungi QS. Al-Baqarah: 155-157. Allah Swt berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ. اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ. اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Menurut Prof. KH Muhammad Quraish Shihab, rangkaian ayat ini menegaskan bahwa ujian merupakan keniscayaan dalam hidup. Ujian itu bisa berupa rasa takut, kelaparan, berkurangnya harta, kehilangan nyawa orang-orang tercinta, dan kegagalan panen.
Namun, semua bentuk kesulitan tersebut adalah bagian kecil dari ketetapan-Nya, yang bertujuan menguatkan keimanan manusia.
Ia menjelaskan, frasa “bisyai’in” (dengan sesuatu) menunjukkan bahwa ujian-ujian itu sejatinya hanya sedikit, bukan sepenuhnya. Artinya, musibah yang Allah timpakan masih jauh lebih ringan dibandingkan potensi bencana yang bisa terjadi. Sikap bijak menghadapi hal ini bukanlah panik atau marah, tetapi bersiap diri dengan kesadaran bahwa setiap musibah datang dalam takaran yang sudah ditetapkan dengan penuh hikmah.
Baca: Ibnu Khaldun Bocorkan Ciri-ciri Negara Bangkrut
Dalam ayat 156, ditunjukkan respons terbaik orang-orang beriman saat musibah datang. Mereka mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.” Bagi Prof. Quraish, kalimat ini bukan sekadar pelafalan spontan, tetapi sebuah pernyataan iman bahwa manusia adalah sepenuhnya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran ini memberi ketenangan dan kedewasaan spiritual saat menghadapi duka.
Kemudian Allah Swt menjanjikan tiga hal luar biasa dalam ayat 157, yakni limpahan rahmat, keberkahan selawat, dan hudan atau bimbingan hidup bagi mereka yang sabar. Menurut Prof. Quraish, pujian dari Allah adalah bentuk pengakuan spiritual tertinggi. Rahmat berarti perlindungan dan kasih sayang-Nya, sementara hudan alias petunjuk adalah cahaya yang menuntun langkah manusia agar tak tersesat di tengah beban hidup.