Ikhbar.com: Soft drink alias minuman ringan menjadi teman yang pas di tengah siang kala suhu udara sedang begitu memanas. Minuman manis dengan berbagai rasa (terutama buah) ini biasa disajikan dengan es batu atau diteguk saat masih dingin setelah beberapa masa disimpan di dalam kulkas.
Namun, siapa sangka, soft drink bukanlah minuman modern. Minuman ringan justru merupakan sajian klasik dan populer pertama kali di negara-negara Arab dengan penduduk mayoritas Muslim.
Jurnalis dan penulis tema kuliner asal Amerika Serikat (AS), Juliette Rossant menjelaskan, sejak ratusan tahun lalu, orang-orang Turki Utsmani sangat familiar dengan minuman segar tersebut. Mereka menamai soft drink dengan istilah sharbat.
“Sharbat terbuat dari jus buah atau ekstrak bunga atau herbal yang dikombinasikan dengan gula dan air atau terkadang ditambah cuka untuk membentuk sirop. Kemudian minuman itu diencerkan dengan air, es, atau bahkan salju,” tulis Rossant, dikutip dari Muslim Heritage, Sabtu, 23 September 2023.
“Karena alkohol dilarang dalam Islam, sharbat menjadi salah satu minuman terpenting dalam budaya Muslim,” tambahnya.
Baca: Lewat Kopi, Islam Singkirkan Pamor Alkohol dan Perluas Jangkauan Syiar
Populer, dipuja, dipuisikan
Saking populernya sharbat bagi masyarakat Muslim, bahkan mereka sering memasukkan sebutannya ke dalam puisi atau sekadar sebagai kalimat rayuan.
“Dalam Bahasa Arab Mesir, misalnya, dikenal analogi, ‘ammu sharbaat.’ Artinya, darahnya adalah sharbat. Itu adalah kalimat pujian untuk watak seseorang yang baik,” tulis Rossant.
Orang-orang Mesir juga memuja anak-anaknya dengan sebutan “sharbaataat” yang bermakna anak-anak manis, imut, atau kekasih.
Menurut Rossant, jejak popularitas sharbat juga tercatat dalam puisi yang ditulis George Gordon Byron atau masyhur disapa Lord Byron (1788-1824), seorang penyair klasik asal Inggris.
Beri aku matahari, aku tidak peduli seberapa panasnya, dan sharbat, aku tidak peduli betapa sejuknya, dan surgaku semudah buatan Persiamu.
“Puisi itu ditulis pada 1813. Byron menulis dengan penuh kerinduan setelah dia mencicipi sharbat di saat berkunjung ke Istanbul,” jelas Rossant.
Karya sastra yang menyinggung sharbat juga terekam dalam epos Seribu Satu Malam. Sharbat muncul sebagai minuman yang menyegarkan sekaligus menyembuhkan.
Setelah itu Shahryar memanggil dokter dan ahli bedah dan memerintahkan mereka merawat saudaranya sesuai aturan seni, yang mereka lakukan selama sebulan penuh; tetapi sharbat dan ramuan mereka tidak ada gunanya….
Menurut Rossant, sharbat begitu cepat dikenal luas karena hingga awal abad 20, hanya ada sedikit alat yang bisa dipakai untuk mengawetkan buah segar. Pendinginannya pun hanya tersedia bagi orang-orang yang sangat kaya.
“Oleh karena itu, buah-buahan tetap bersifat musiman, kecuali jika bisa dikeringkan atau direduksi menjadi sari cair dalam bentuk sirop,” katanya.
Baca: Kuliner Islam Pelopor Makanan Sehat Dunia
Mengalir hingga Eropa
Nama sharbat berasal dari Bahasa Arab “shariba” yang berarti “minum.” Kata “shariba” itu kemudian memunculkan banyak turunan, baik dalam Bahasa Arab dan bahasa lain. Namun, apapun makna dan bentuknya, sharbat tetap diartikan sebagai sirop, soft drink, atau minuman ringan.
“Begitu pula pengertian yang diadopsi dalam Kamus Oxford,” tulis Rossant.
Rossant menegaskan, di sepanjang sejarahnya, sharbat telah menginspirasi banyak orang. Sharbat diprediksi menjadi minuman yang paling banyak tersebar di dunia.
“Bahkan, dua abad sebelum puisi Byron ditulis, filsuf Francis Bacon telah mencicipi sharbat pada 1626 dan telah melahirkan salah satu catatan paling awal tentang kata baru itu dalam Bahasa Inggris,” kata dia.
Seiring dengan menyebarnya sharbat ke lintas negara dan benua, minuman itu pun kemudian melahirkan banyak varian dan rasa. Sharbat disebut bermula dari Arab, kemudian ke Turki, Persia, India, lalu berlayar dibawa para pedagang Portugis hingga menembus peradaban Eropa.
“Di Portugal dan Spanyol disebut ‘xarope.’ di Yunani dinamakan ‘sirupus.’ dan di India bernama ‘sharaab,” tulis Rossant.
Di Eropa dan Amerika, minuman ini pun tak kalah populer. Orang-orang Barat menyebutnya “semak” atau cocktail dan memodifikasi resepnya dengan menguatkan rasa asam buah-buahan seperti jeruk atau dengan menambahkan cuka, terkadang alkohol.
“Baru kemudian, pada akhir abad 19 muncul kegemaran orang Amerika terhadap minuman berkarbonasi. Itulah cikal-bakal Coca-Cola,” tulis Rossant.