Ikhbar.com: Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 4.004 perguruan tinggi di Indonesia pada 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.107 kampus berada di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dan 897 lainnya di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Sedangkan berdasarkan status, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia berjumlah 184 unit dan 3.820 kampus lainnya merupakan perguruan tinggi swasta (PTS).
Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Gusdurian, Jay Ahmad mengungkapkan, dari banyaknya perguruan tinggi di Indonesia itu hanya secuil saja yang menjadikan pemikiran Presiden Ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai salah satu perspektif yang diajarkan kepada para mahasiswa di dalamnya.
“Tidak banyak kampus yang memiliki Pusat Studi Gus Dur. Yang ada baru di Universitas Indonesia (UI) dengan nama Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities (AWCPH), dan di kampus ini, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon,” katanya, saat memberikan sambutan dalam Gus Dur Memorial Lecture, di Kompleks Kampus Transformatif ISIF Cirebon, Jawa Barat, Rabu, 20 September 2023, malam.
“Jadi, ISIF ini setara UI jika dilihat dari perspektif dan kurikulum yang dibangun,” sambung dia.
Baca: Pro-Kontra Skripsi, Berkaca pada Kurikulum Universitas Islam Tertua di Dunia
Kampus transformasi sosial
ISIF terletak di Jalan Swasembada, Majasem, Karyamulya, Kota Cirebon. Perguruan tinggi di bawah naungan Yayasan Fahmina yang didirikan ulama karismatik, Buya KH Husein Muhammad ini berjarak kurang lebih 2 kilometer arah selatan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon.
Rektor ISIF, Dr. KH Marzuki Wahid menjelaskan, alasan menjadikan pemikiran Gus Dur sebagai basis pendidikan di kampus tersebut karena selaras dengan visi yang diemban sejak didirikan pada 2007 silam, yakni sebagai perguruan tinggi Islam terdepan berbasis riset dan transformasi sosial, dan menjadi referensi akademik terkait Islam Indonesia yang toleran, adil, setara, dan menghargai tradisi lokal.
“Kami melihat Gus Dur sebagai makhluk Tuhan yang diturunkan untuk menyadarkan kita semua bahwa agama sejatinya membawa kerahmatan, bukan sebaliknya, kemafasadatan atau kerusakan,” kata Kiai Marzuki, sapaan akrabnya.
Melalui Pusat Studi Gus Dur dan Transformasi Sosial yang ada di dalam lingkungan kampus, Kiai Marzuki berharap aneka pemikiran Gus Dur bisa terus terawat dan diteladani secara berkesinambungan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
“Nah, pusat studi Gus Dur di ISIF ada nilai tambahannya, yakni transformasi sosial. Ini yang membedakan kami dengan UI. Karena memang salah satu tujuan ISIF adalah membangun transformasi sosial berbasis keislaman,” katanya.
“Generasi milenial maupun gen z penting untuk mengetahui tentang Gus Dur. Gus Dur adalah warisan sejarah. Jika di India, beliau selevel Mahatma Gandhi. Ketika Gus Dur wafat, semua orang ikut serta merasa kehilangan,” tambah Kiai Marzuki.
Baca: Daftar Politikus Perempuan dalam Sejarah Peradaban Islam
Pengaderan ulama perempuan
ISIF membuka tiga fakultas dengan sebanyak lima program studi (prodi). Yaitu, Fakultas Tarbiyah dengan Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Syari’ah yang terdiri dari Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI) dan Ekonomi Syar’ah (ES), serta Fakultas Ushuluddin dengan Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Filsafat Agama, dan Akhlak Tasawuf.
“Selain itu, di ISIF ada program bernama Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI). Program ini memang terinspirasi dari gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). ISIF berusaha membumikan semangat dan gerakan KUPI melalui sistem pendidikan,” katanya.
Di dalam KUPI, lanjut Kiai Marzuki, dikenal trilogi alias tiga prinsip yang dijadikan pakem perjuangan, yakni makruf (kebaikan), keadilan hakiki, dan mubadalah (kesalingan).
“Di SUPI ISIF, kami tambahkan menjadi tetralogi (empat prinsip). Yaitu makruf, keadilan hakiki, dan mubadalah, dan satu lagi, pribumisasi Islam,” ungkap Kiai Marzuki.
“Pribumisasi Islam inilah manifestasi dari keislaman yang ramah,” tambahnya.
Lewat program SUPI, ISIF mengkhususkan sebanyak 20 mahasiswa dalam setiap angkatan untuk belajar secara lebih komprehensif berupa teori, praktik, dan riset melalui sistem asrama di Pondok Pesantren Fahmina.
“Jadi, lewat SUPI, kami tidak cuma mengader mahasiswa untuk sekadar menjadi ulama, tapi juga sarjana. Tidak hanya sarjana, tetapi juga ulama,” pungkas Kiai Marzuki.