Ikhbar.com: Ketua Lembaga Falakiyah dan Astronomi Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren Cirebon, Ustaz Abudzar Alghiffari menegaskan bahwa metode penentuan awal bulan hijriah, yakni rukyatul hilal (pengamatan langsung) dan hisab (perhitungan astronomi) bukan hal yang tepat dipertentangkan. Keduanya, sama-sama memiliki kedudukan penting dalam syariat Islam.
“Rukyatul hilal memiliki dasar yang kuat berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw, yakni kita dianjurkan untuk melihat bulan sebagai penentu masuknya bulan baru,” ujarnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar di Ikhbar TV, dikutip pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Baca: Bingung dengan Perbedaan Awal Ramadan? Ini Solusinya menurut Fikih
Beda rukyat dan hisab
Menurut Ustaz Ghifar, sapaan karibnya, metode ini telah digunakan sejak zaman Rasulullah Saw dan tetap dipertahankan banyak negara Muslim di belahan dunia.
Meski demikian, dia menyebut bahwa metode itu memiliki tantangan tersendiri, terutama terkait dengan kondisi cuaca dan keterbatasan alat bantu pengamatan.
“Kadang hilal sulit terlihat karena faktor atmosfer, polusi cahaya, atau bahkan kondisi geografis tertentu,” tambahnya.
Sementara itu, metode hisab yang berbasis perhitungan astronomi menawarkan pendekatan yang lebih sistematis. Dengan kemajuan teknologi, akurasi perhitungan hisab semakin meningkat dan dapat memperkirakan kemunculan hilal jauh sebelum waktunya.
“Hisab sangat membantu dalam prediksi, tetapi sebagian ulama masih menegaskan bahwa tanpa pengamatan langsung, ketetapan bulan baru belum bisa dipastikan,” tegasnya.
Meskipun terdapat perbedaan dalam penggunaannya, ia menekankan pentingnya sinergi antara metode rukyat dan hisab.
“Keduanya bukan untuk dipertentangkan, tetapi harus dipadukan agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan bisa diterima secara luas oleh umat Islam,” jelasnya.

Baca: Menag: Jadikan Idulfitri sebagai Momentum Perkuat Kebersamaan
Penyebab perbedaan
Umat Islam sering kali menghadapi perbedaan dalam menentukan awal Ramadan dan Idulfitri. Perbedaan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia.
Menurut Ustaz Ghifar, salah satu penyebab utama perbedaan ini adalah perbedaan kriteria yang digunakan dalam menetapkan hilal.
“Di Indonesia, ada perbedaan dalam standar ketinggian hilal yang diadopsi. Pemerintah biasanya menggunakan kriteria tinggi hilal minimal tiga derajat, sementara beberapa organisasi Islam memiliki pendekatan yang berbeda,” jelasnya.
“Berbeda dengan pemerintah, ada juga sejumlah organisasi keislaman yang memakai metode wujudul hilal dengan batas penampakan hilal lebih rendah, yakni di atas nol derajat,” sambungnya.
Fenomena inilah, kata dia, yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan dalam memulai puasa Ramadan atau hari raya Idulfitri.
Namun, ia mengingatkan bahwa perbedaan ini seharusnya tidak menjadi penyebab perpecahan di kalangan umat Islam.
“Persoalannya, bukan soal kecanggihan teknologi semata. Tapi rukyatul hilal mesti dipahami sebagai syariat yang harus tetap dilaksanakan,” tambahnya.
Ustaz Ghifar pun menekankan perlunya keterbukaan masyarakat dalam memahami keberagaman metode dalam menentukan awal bulan hijriah ini agar umat Islam tidak memahaminya sebagai perselisihan tanpa dasar.
“Edukasi tentang dasar-dasar keilmuan astronomi Islam atau falakiyah ini perlu digencarkan guna meminimalisir kesalahpahaman masyarakat,” sarannya.
“Masyarakat juga harus memberi nilai positif sidang isbat sebagai bentuk keterbukaan pemerintah dan keterlibatan masyarakat secara lebih luas,” tambah Ustaz Ghifar.
Baca: Sidang Isbat Bukti Pemerintah Libatkan Masyarakat dalam Musyawarah, Kata DPR
Akurasi rukyatul hilal
Salah satu tantangan utama dalam rukyatul hilal adalah akurasi pengamatan. Faktor seperti kondisi atmosfer, polusi cahaya, dan kurangnya alat bantu sering menjadi kendala dalam melihat hilal secara langsung. Ustaz Ghifar menekankan bahwa untuk meningkatkan akurasi, penggunaan teknologi harus lebih dimaksimalkan.
“Di zaman modern ini, kita sudah memiliki teleskop canggih, kamera beresolusi tinggi, serta perangkat lunak simulasi yang sangat membantu dalam pengamatan hilal,” jelasnya.
Namun, kata dia, kendala tetap ada. Tidak semua daerah memiliki akses terhadap alat-alat canggih tersebut. Selain itu, faktor kesalahan manusia dalam melakukan observasi juga sering menjadi sumber ketidakpastian.
“Kadang ada laporan pengamatan hilal yang tidak sesuai dengan hasil prediksi ilmiah. Ini yang harus kita cermati dengan baik, karena kriteria hilal yang benar-benar terlihat harus jelas dan terverifikasi,” ujarnya.
Menurutnya, verifikasi oleh para ahli falak sangat penting dalam proses ini.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kesaksian satu atau dua orang tanpa dukungan data ilmiah. Semua hasil rukyat harus dikaji ulang dengan cermat,” tegasnya.
Sebagai solusi, ia mengusulkan agar lebih banyak pelatihan dan edukasi mengenai rukyatul hilal diberikan kepada masyarakat dan para pengamat hilal.
“Jika semakin banyak orang yang paham bagaimana cara mengamati hilal dengan benar, maka akurasi hasil rukyat akan semakin baik,” katanya.
Dengan pemanfaatan teknologi modern dan edukasi yang lebih luas, ia berharap proses penentuan awal bulan hijriah dapat lebih akurat dan minim perbedaan. Hal ini tidak hanya membantu umat Islam dalam menjalankan ibadah, tetapi juga mengurangi polemik yang terjadi setiap tahunnya.