Ikhbar.com: Ramadan bukan sekadar bulan penuh berkah, tetapi juga bisa menjadi madrasah keluarga yang menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Pernyataan tersebut disampaikan Dewan Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, KH Ahmad Zaini Dahlan dan Ny. Hj. Tho’atillah Ja’far, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Ramadan Madrasah Keluarga,” di Ikhbar TV.
Kiai Ahmad menegaskan bahwa Ramadan memiliki dimensi pendidikan karakter yang sangat kuat. Selama bulan suci, setiap individu, terutama anak-anak berkesempatan untuk belajar tentang kesabaran, disiplin, keikhlasan, serta empati terhadap sesama.
“Puasa bukan hanya menahan haus dan lapar, tetapi juga melatih kita untuk mengendalikan hawa nafsu. Dari sinilah pendidikan karakter dalam keluarga bisa dimulai,” ujarnya, dikutip pada Kamis, 27 Maret 2025.
Menurut Kiai Ahmad, pendidikan karakter harus dimulai dari rumah. Orang tua memiliki peran utama dalam membimbing anak-anak agar memahami makna Ramadan secara lebih mendalam, tidak sebatas menjalankan ritual ibadah, tetapi juga menanamkan kebiasaan baik yang akan terbawa sepanjang hidup.
“Jika sejak kecil anak-anak diajarkan bahwa Ramadan adalah bulan berbagi, maka saat dewasa mereka akan tumbuh dengan nilai-nilai kepedulian yang kuat,” tambahnya.
Kiai Ahmad menambahkan, Ramadan sejatinya bisa dijadikan sebagai madrasah bagi keluarga yang mampu membentuk individu lebih sabar, lebih bersyukur, dan lebih peduli terhadap orang lain.
Baca: Cerita Imam Nawawi Berjumpa Lailatul Qadar

Peran krusial seorang ibu
Sementara itu, Nyai Tho’ah menekankan bahwa peran ibu dalam keluarga menjadi sangat krusial dalam menanamkan kebiasaan ibadah selama Ramadan. Pendidikan di dalam rumah harus berjalan secara alami dan menyenangkan, bukan dengan paksaan.
“Anak-anak harus diajak memahami bahwa ibadah bukanlah beban, tetapi sebuah kebutuhan dan kebahagiaan,” jelasnya.
Salah satu cara efektif untuk membangun kebiasaan ibadah pada anak adalah melalui teladan nyata dari orang tua. Ketika anak melihat ayah dan ibunya melaksanakan salat dengan khusyuk, membaca Al-Qur’an dengan istikamah, dan berbagi kepada sesama, mereka akan meniru kebiasaan tersebut dengan sendirinya.
“Kita tidak bisa hanya menyuruh anak-anak salat atau puasa, sementara kita sendiri tidak memberikan contoh yang baik. Ramadan adalah waktu terbaik untuk menunjukkan teladan itu,” ungkap Nyai Tho’ah.
Selain itu, Nyai Tho’ah juga menekankan pentingnya suasana rumah yang mendukung ibadah, seperti membiasakan tadarus Al-Qur’an bersama, berbuka dengan penuh kebersamaan, serta menjadikan momen sahur sebagai waktu untuk mendidik anak dengan cerita-cerita inspiratif dari sirah Nabi.
“Jika Ramadan dijadikan sebagai momentum pendidikan, maka keluarga akan menjadi madrasah yang melahirkan generasi Islami yang kuat,” tambahnya.
Baca: Terasa Berat Menanggung Pekerjaan Rumah Tangga saat Ramadan? Ini Tips Ning Uswah untuk Perempuan
Detoks digital
Salah satu tantangan utama dalam menjadikan Ramadan sebagai madrasah keluarga adalah pengaruh teknologi dan gaya hidup modern. Kiai Ahmad kembali mengingatkan bahwa meskipun media digital bisa menjadi sarana dakwah yang baik, terlalu banyak paparan dunia maya dapat mengurangi makna spiritual Ramadan dalam keluarga.
“Kita sering melihat saat berbuka, masing-masing sibuk dengan gadget. Sahur pun dihabiskan dengan menonton video, bukan memperbanyak doa atau zikir,” tuturnya.
Untuk mengatasi hal ini, Ramadan dapat dijadikan waktu detoks digital, dengan mengurangi penggunaan gawai saat sahur dan berbuka puasa, serta menggantinya dengan aktivitas yang lebih bermakna, seperti diskusi agama, membaca Al-Qur’an bersama, atau sekadar berbincang dari hati ke hati dalam keluarga.
Sedangkan Nyai Tho’ah menambahkan bahwa orang tua harus mampu menyeimbangkan penggunaan teknologi dalam rumah tangga. Anak-anak bisa diajak untuk menyaksikan tayangan Islami yang edukatif, mengikuti kajian daring, atau bahkan membuat konten positif tentang Ramadan di media sosial mereka.
“Jika teknologi digunakan dengan bijak, Ramadan bisa menjadi lebih bermakna. Namun, jika dibiarkan tanpa kendali, ia justru bisa menghilangkan nilai pendidikan yang seharusnya kita bangun dalam keluarga,” ujarnya.
Terakhir, Kiai Ahmad dan Nyai Tho’ah mengajak seluruh umat Islam untuk tidak hanya menjadikan Ramadan sebagai bulan ritual, tetapi juga bulan pendidikan spiritual, sehingga setiap anggota keluarga tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
“Jika kita berhasil menjadikan Ramadan sebagai madrasah keluarga, maka insyaallah nilai-nilai yang kita tanamkan akan terus hidup dalam diri anak-anak kita sepanjang hayat,” tutup Kiai Ahmad.