Ikhbar.com: Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Bahauddin Nursalim menyebutkan bahwa salah satu hal mempersiapkan diri memasuki bulan Ramadan adalah dengan mendalami kajian literatur dari para ulama terdahulu.
Dikutip dari tayangan YouTube Najwa Shihab pada Rabu, 15 Maret 2023, Gus Baha menegaskan bahwa amalan tersebut didapatkan dari KH Maimaun Zubair.
“Di antara ijazah dari Mbah Moen juga ijazah bapak, mengatakan ‘Ihdinas shiratal mustaqim. Shiratal ladzina an‘amta ‘alaihim ghairil maghdhubi alaihim wa lad dhallin.’ Jadi, kita tidak bisa saleh tanpa meniru orang terdahulu. Kita tidak bisa baik tanpa meniru orang terdahulu, ” kata Gus Baha.
Baca juga: Pesan Gus Kautsar dalam Menyongsong Bulan Ramadan
Pada penggalan ayat tersebut, Allah tidak hanya berfirman ihdinasirotol mustaqim atau “Tunjukan kami jalan yang lurus” semata. Akan tetapi menurut Gus Baha, Allah juga berfirman bahwa jalan yang benar yakni jalan mereka yang telah Allah beri nikmat.
“Jadi, Allah menghendaki ini, ada masternya,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA itu.
Salah satu cara untuk mendalami literatur ulama terdahulu menurut Gus Baha yakni mengikuti ngaji pasaran.
“Ngaji pasaran ini begitu lekat di telinga para santri untuk mempelajari literatur ulama terdahulu,” terangnya.
Dalam kegiatan ngaji pasaran, Gus Baha menjelaskan bahwa seluruh civitas pesantren akan mengaji kitab dengan intensitas lebih banyak dibanding bulan-bulan selain Ramadan.
“Kalau tradisi di kami, di pesantren, misalnya satu kiai ngajar 2-3 kitab setelah salat fardu. Bisanya kalau Ramadan ini full. Karena ini untuk melengkapi orang Indonesia dapat berkahnya Ramadan, kalau kita belajar kitab atau membacakan kitab ke masyarakat supaya tahu cara niatnya orang dulu ketika puasa atau cara pandang orang dulu tentang puasa,” ucap Gus Baha.
Dengan demikian, kata Gus Baha, diharapkan seseorang dapat membekali dirinya dengan pemahaman yang lebih jernih dalam memandang Ramadan.
Baca juga: Penjelasan Terkait Mitos Mandi Wajib jelang Ramadan
“Cara pandang Ramadan secara benar, paling tidak, kita merasa lapar. Betapa sakitnya orang miskin yang lapar, terus menghormati makan karena begitu nikmat. Ketika puasa melihat makanan yang kita sepelekan pada saat tidak puasa, ketika Ramadan spesial semua. Bahkan air pun spesial, gedang (pisang) goreng spesial,” jelas Gus Baha.
“Di sini ada syukur yang luar biasa. Itu kalau tidak baca literatur ulama terdahulu, kita tidak akan tahu,” tandasnya.