Beda Makna ‘Ilmu’ dalam Kamus Islam dan Barat

Dalam Islam, ilmu atau “‘ilm” memiliki makna yang jauh lebih luas.
Seorang perempuan Muslimah hendak membaca buku. PEXELS/Alena Darmel

Ikhbar.com: Dalam pemikiran Barat, ilmu atau yang mereka bahasakan sebagai “knowledge,” sering kali dipahami sebagai sekumpulan informasi yang diperoleh melalui pengalaman, observasi, serta penelitian ilmiah. Konsep ini menekankan aspek empiris dan rasional, yang pada akhirnya membentuk fondasi bagi perkembangan sains modern. Namun, dalam Islam, ilmu atau “‘ilm” memiliki makna yang jauh lebih luas.

Profesor Emeritus Pemikiran Islam di Universitas Ibn Haldun, Istanbul, Turki, Alparslan Acikgenc menjelaskan bahwa “‘ilm” tidak sekadar berarti pengetahuan dalam arti teknis atau akademis. Sebaliknya, ilmu dalam Islam mencakup dimensi intelektual, spiritual, moral, bahkan sosial. Konsep ini telah menjadi landasan utama dalam berbagai aspek kehidupan umat Muslim, baik dalam pemikiran keagamaan, politik, maupun dalam keseharian.

“Tidak ada cabang kehidupan Muslim yang tidak tersentuh oleh konsep ilmu,” ujar Prof. Acikgenc dalam kuliah yang disampaikannya di Sharjah, Uni Emirat Arab (UEA), pada akhir Februari 2025 lalu.

Baca: Khianat Barat terhadap Peradaban Islam

Keistimewaan ilmu dalam Islam terletak pada posisinya yang tidak hanya sebagai alat untuk memahami dunia, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Al-Qur’an sendiri menggarisbawahi pentingnya ilmu dengan menyebut istilah ‘”ilm” setidaknya 25 kali dalam berbagai konteks. Sejarah juga mencatat bagaimana semangat keilmuan ini menjadi pendorong utama bagi kemajuan intelektual di dunia Islam, terutama pada masa keemasan antara abad ke-8 hingga ke-13.

Pada masa itu, pusat-pusat pembelajaran seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad, Irak menjadi mercusuar ilmu yang menerangi dunia, sementara berbagai kota besar seperti Kairo, Samarkand, dan Granada menjadi pusat kemajuan akademik.

Saat Eropa mengalami Abad Kegelapan, dunia Islam justru berada dalam puncak kejayaan intelektual, dengan Bahasa Arab sebagai bahasa utama keilmuan yang digunakan oleh para ilmuwan dan cendekiawan dari berbagai latar belakang.

Sebuah manuskrip Persia abad ke-13 berjudul Mukhtasar dar Bayani Ilmi Khututi Asturlab yang menjelaskan fungsi pengukuran astronomi untuk mengukur ketinggian benda-benda langit pada zaman kuno. Dok Leiden University Libraries

Baca: Rahasia ‘Iqra’ di Era Kecerdasan Buatan (AI)

Perbedaan orientasi dan tujuan

Perbedaan antara konsep ilmu dalam Islam dan di Barat tidak hanya terletak pada cakupannya, tetapi juga pada orientasi dan tujuan akhirnya. Tradisi keilmuan Barat banyak dipengaruhi oleh pemikiran Yunani Kuno, terutama Aristoteles, yang membagi ilmu ke dalam dua kategori utama.

Pertama, ilmu yang diperoleh dari pengalaman sehari-hari, yaitu pengetahuan praktis yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kedua, ilmu dalam ranah ilmiah dan filosofis yang berfokus pada pencarian sebab-sebab dan kebenaran melalui metode rasional serta pembuktian empiris. Dalam sistem ini, ilmu lebih bersifat deskriptif dan bertujuan untuk memahami serta menjelaskan fenomena alam melalui logika dan eksperimen.

Berbeda dengan itu, dalam Islam, ilmu memiliki cakupan yang lebih luas dan tidak hanya terbatas pada aspek empiris atau logis semata.

Baca: Terjemahan Barat Pelintir Kesalehan Rumi

Prof. Acikgenc menjelaskan bahwa dalam Islam, ilmu diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama yang mencerminkan berbagai aspek kehidupan manusia.

Pertama, ilmu wahyu yang bersumber langsung dari Tuhan melalui Al-Qur’an dan hadis, yang menjadi dasar utama dalam pemikiran Islam. Kedua, ilmu iluminatif yang diperoleh melalui refleksi spiritual dan pengalaman batin. Ketiga, ilmu empiris atau sains, yang meliputi pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dan penelitian ilmiah. Dan keempat, ilmu keseharian, yang mencakup berbagai pengetahuan praktis yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, Prof. Acikgenc juga menambahkan satu kategori lain, yaitu “ilmu gelap” atau kebodohan, yang muncul jika ilmu tidak digunakan dengan landasan yang benar. Menurutnya, ilmu yang tidak diarahkan oleh prinsip-prinsip Islam dapat menyesatkan manusia dan berpotensi membawa dampak negatif bagi peradaban.

“Jika ilmu tidak berada dalam kerangka nilai-nilai yang benar, ia bisa menjadi alat yang justru menyesatkan,” kata dia.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai spiritual dan etika. Jika dalam pemikiran Barat ilmu sering kali berdiri sendiri sebagai sesuatu yang netral, dalam Islam ilmu selalu memiliki makna dan tujuan yang lebih tinggi. Prof. Acikgenc menegaskan bahwa ilmu dalam Islam bukan hanya sarana untuk mencapai kesejahteraan duniawi, tetapi juga sebagai jalan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat.

Baca: Alkimia, bukan Kimia, Cara Barat Singkirkan Peran Ilmuwan Islam

Peran ilmu dalam sejarah Islam

Pandangan Islam yang menyeluruh terhadap ilmu telah melahirkan banyak kontribusi besar dalam berbagai bidang keilmuan sepanjang sejarah. Para ilmuwan Muslim tidak hanya menerjemahkan dan menyebarkan gagasan dari peradaban Yunani, India, dan Persia, tetapi juga mengembangkan teori-teori baru yang menjadi landasan bagi ilmu pengetahuan modern.

Salah satu pencapaian besar dalam dunia Islam adalah pengembangan instrumen astronomi seperti astrolabe, yang digunakan untuk menentukan waktu, arah kiblat, serta posisi bintang. Alat ini tidak hanya berfungsi dalam bidang astronomi, tetapi juga memiliki peran penting dalam praktik ibadah umat Islam.

Selain itu, konsep keilmuan dalam Islam sering kali tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga memiliki makna filosofis dan teologis yang mendalam. Prof. Acikgenc menjelaskan bahwa dalam Islam, ilmu selalu diberikan nilai yang lebih tinggi, baik dari segi spiritual, moral, maupun kemanusiaan.

“Ilmu dalam Islam tidak pernah berdiri sendiri sebagai sesuatu yang netral,” ujarnya. “Sebaliknya, ia selalu memiliki tujuan yang lebih besar.”

Dalam pandangan Prof. Acikgenc, pendekatan Islam terhadap ilmu juga menantang narasi Barat yang sering kali memisahkan antara sains, agama, dan filsafat. Dalam Islam, ketiga aspek ini justru saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

“Islam memberikan sebuah pandangan dunia kepada umatnya, yang sangat bergantung pada konsep ‘ilm’ dalam Al-Qur’an,” jelasnya.

“Karena itu, masyarakat Muslim awal adalah masyarakat yang dibangun di atas fondasi keilmuan,” sambungnya.

Selenographia karya Hevelius, yang memperlihatkan Alhasen (Ibn al-Haytham) yang mewakili akal budi dan Galileo Galilei yang mewakili indra. Halaman judul dari Selenographia, sive, Lunae descriptio, 1647, oleh Johannes Hevelius (1611-1687). Dok Harvard University

Baca: Dari Al-Farghani hingga Al-Biruni, Para Ilmuwan Muslim Peletak Dasar Astronomi Dunia

Pendekatan ini menjadikan Islam sebagai peradaban yang menghargai ilmu bukan hanya sebagai alat untuk memahami alam, tetapi juga sebagai jalan menuju tujuan spiritual yang lebih tinggi.

“Islam menekankan bahwa ilmu bukan hanya alat untuk mencapai kebahagiaan duniawi. Yang lebih utama, ilmu adalah jalan menuju keridaan Tuhan,” kata Prof. Acikgenc.

Dengan cara pandang yang demikian luas dan mendalam, perbedaan antara konsep ilmu dalam Islam dan Barat menjadi semakin jelas. Islam menempatkan ilmu sebagai bagian dari keseluruhan kehidupan manusia, yang menyatukan aspek rasional, spiritual, dan moral. Sementara itu, dalam pemikiran Barat, ilmu lebih sering dipisahkan dari nilai-nilai keimanan dan berfokus pada aspek empiris serta logis.

Keberagaman perspektif ini menunjukkan bahwa ilmu bukan sekadar akumulasi informasi, tetapi juga merupakan refleksi dari cara suatu peradaban memahami hakikat kehidupan, manusia, dan alam semesta.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.