Ikhbar.com: Influencer Muslim, H. Romzi Ahmad, yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Romzi, mengaku kurang nyaman jika disebut sebagai “guru.” Ia lebih memilih sebagai “pendidik.” Alasannya bukan soal citra, branding, atau penghindaran dari label sosial, tapi karena kata itu ia nilai memuat semangat yang lebih hidup dan bergerak.
“Saya tidak mau melepaskan identitas saya dan juga keyakinan saya terhadap diri saya sendiri bahwa saya adalah seorang pendidik,” ujarnya dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Inspirasi Gus Romzi” di Ikhbar TV, dikutip pada Selasa, 24 Juni 2025.

Baca: Bukan Gagap Teknologi, Ini Nilai Jual Pesantren yang Penting Diadaptasi
Menurut Gus Romzi, istilah guru sekarang ini telah mengalami penyempitan makna. Terikat dengan ruang kelas, status profesi, sistem birokrasi, bahkan sertifikasi.
“Sementara pendidik adalah istilah yang lebih luas dan mencerminkan proses yang dinamis. Ia tidak terikat ruang, tidak terikat jabatan, dan tidak berhenti di struktur formal,” ungkapnya.
“Menjadi pendidik itu bukan berarti juga berada di ruang kelas. Karena orang bisa mengambil pelajaran dari kita bisa kapan saja dan di mana saja kan?” sambung Gus Romzi.
Bagi sosok yang juga tercatat sebagai “Anak Muda NU Berpengaruh 2023 versi Ikhbar.com“ ini, menjadi pendidik adalah jalan hidup. Ia bahkan menyebut dirinya sebagai pembelajar dan pengajar sepanjang hayat.
“Mualim madal haya wa mutaalim madal haya (pengajar seumur hidup dan pembelajar seumur hidup). Kan saya adalah seorang pembelajar seumur hidup. Tapi saya meyakini bahwa yang saya pelajari juga harus disampaikan ke orang lain. Jadi saya juga adalah seorang pengajar seumur hidup,” jelasnya.
Menurutnya, istilah pendidik membawa semangat kebermanfaatan. Bukan sekadar simbol status, melainkan upaya untuk terus relevan dan membawa kebaikan bagi banyak orang.
“Berikhtiar untuk terus bermanfaat, relevan dengan zaman, membawa kemaslahatan buat banyak orang. Nah, itu adanya di pendidikan,” katanya.
Gus Romzi juga menekankan bahwa pendidikan merupakan ruang bersama. Sebuah jalan yang dapat mempertemukan siapa saja, dari latar belakang apapun, menuju tujuan yang sama, yakni tumbuh dan berkembang bersama.
“Ini tuh (pendidikan) kayak kalimatun sawa (kalimat yang sama) antara semua manusia di bumi ini bahwa jalur pendidikan adalah satu pathway (jalur) yang paling mudah untuk mendekatkan diri sama Allah Swt,” ucapnya.
Baca: Tunjangan Profesi Guru dalam Tinjauan Fikih
Pembicaraan tentang perbedaan makna itu bermula dari banyaknya label publik yang kerap disematkan padanya, dari mulai sebagai seorang aktivis, politisi, hingga pendakwah digital.
“Biasanya saya akan kembali kepada safe house (zona aman) saya, zona aman dan zona nyaman saya. Bahwa saya adalah seorang pendidik dan menikmati segala proses yang berbau pertumbuhan atau perkembangan dari orang-orang yang ada di sekitar saya,” katanya.
Direktur Pendidikan Pondok Pesantren Al-Shighor Gedongan, Cirebon, itu mengakui bahwa sebutan guru terdengar lebih statis. Sebuah label yang melekat, tetapu kurang mencerminkan proses pembelajaran yang aktif. Sedangkan pendidik lebih menggambarkan perjalanan, usaha, dan gerakan yang terus berlanjut.
“Kalau guru tuh ada kesan itu tuh simbol atau label. Tapi kalau pendidik itu proses, itu usaha, itu effort (upaya). Jadi suasananya jauh lebih moving (mengalir), lebih ada energinya daripada guru,” tegasnya.
Dalam dunia yang terus berubah, Gus Romzi ingin tetap hadir sebagai bagian dari perubahan itu. Bukan sekadar pengamat atau pengajar konvensional, melainkan sosok yang menyumbangkan gagasan, nilai, dan energi positif melalui jalur pendidikan.