Seikat Puisi ‘Fragmen Luka’ sebagai Labirin tanpa Pusat

Buku ini menghadirkan pengalaman membaca yang menyesatkan sekaligus menggugah.
Ilustrasi pintu labirin. PIXABAY/Arek Socha

Oleh: Ikhtiar Putra Pratama (Penyair Muda Lampung)

Buku Fragmen Luka dapat dipahami sebagai sebuah eksplorasi puisi yang melampaui batas-batas konvensional. Ia tidak hanya mengisahkan pengalaman manusia dalam bentuk kata-kata, tetapi juga menantang cara kita memahami puisi itu sendiri. Melalui struktur yang kompleks dan metafora yang mendalam, buku ini menghadirkan puisi sebagai perjalanan, di mana makna tidak selalu jelas dan jawaban tidak selalu tersedia. Dalam konteks ini, Fragmen Luka dapat dianalisis sebagai labirin tanpa pusat, puisi tanpa jawaban, dan puisi sebagai ziarah batin.

Sebagai labirin tanpa pusat, buku ini menghadirkan pengalaman membaca yang menyesatkan sekaligus menggugah. Tidak ada pola yang benar-benar baku dalam penyajian tema dan narasi puitiknya. Pembaca diajak menyusuri lorong-lorong pemikiran yang tidak selalu memiliki akhir yang jelas. Setiap puisi menjadi simpul yang menghubungkan gagasan-gagasan abstrak, membentuk labirin makna yang terus berkembang seiring dengan perenungan pembaca.

Seperti labirin, puisi-puisi ini tidak menawarkan satu jalan keluar yang pasti, melainkan membiarkan pembaca tersesat dalam pemahamannya sendiri.

Konsep puisi tanpa jawaban juga sangat kuat dalam Fragmen Luka. Puisi-puisinya tidak hadir sebagai solusi atas pergulatan hidup, melainkan sebagai refleksi yang justru memperumit pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Banyak puisi dalam buku ini menyoroti absurditas, ketidakpastian, dan kehilangan. Alih-alih menjelaskan atau menyederhanakan realitas, puisi-puisi ini justru menggugurkan ilusi kepastian yang sering kita cari. Dengan demikian, membaca buku ini seperti berhadapan dengan cermin yang memantulkan berbagai pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terjawab.

Baca: Gaza dalam Sebait Puisi Imam Syafi’i

Ketika puisi kehilangan jawabannya, ia justru menemukan bentuk baru sebagai ziarah batin. Dalam buku ini, puisi tidak hanya menjadi medium ekspresi, tetapi juga ruang untuk mengalami perjalanan spiritual. Tema-tema seperti kehilangan, cinta, pencarian makna, hingga transendensi banyak diangkat dalam buku ini, menciptakan atmosfer kontemplatif yang mendalam. Puisi-puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan pengalaman hidup mereka sendiri, seolah menjadi bagian dari perjalanan batin sang penyair.

Cover buku puisi “Fragmen Luka (2025) karya Ikhtiar Putra Pratama. Dok IST

Baca: Terjemahan Barat Pelintir Kesalehan Rumi

Ziarah batin dalam Fragmen Luka juga terasa dalam eksplorasi waktu dan ingatan. Banyak puisi dalam buku ini menggambarkan ingatan yang bocor, kenangan yang tercerai-berai, serta refleksi terhadap masa lalu yang sulit dipahami secara utuh. Dengan menghidupkan kembali fragmen-fragmen luka melalui kata-kata, buku ini menegaskan bahwa perjalanan batin seseorang tidak selalu linier, tetapi penuh dengan belokan, kehilangan, dan pertemuan yang tak terduga.

Selain itu, Fragmen Luka menunjukkan bagaimana puisi dapat menjadi medium untuk menghadapi trauma dan penderitaan. Dalam banyak puisinya, luka tidak dihindari atau disembunyikan, tetapi justru dikuliti hingga ke akar terdalamnya. Penyair tidak berusaha untuk menenangkan atau menutup luka dengan kata-kata manis, melainkan membiarkan setiap kepedihan tampil dalam bentuknya yang paling jujur. Hal ini memperlihatkan bagaimana puisi dapat berfungsi sebagai ruang terapi bagi pembaca yang juga memiliki luka yang ingin mereka pahami atau terima.

Buku ini adalah salah satu karya saya, Ikhtiar Putra Pratama, seorang seniman muda asal Lampung yang juga menjabat sebagai Pengurus Wilayah Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU) Provinsi Lampung. Sebagai seorang seniman yang aktif di dunia sastra, teater, dan seni rupa, saya mencoba menghadirkan pendekatan puitik yang kaya dengan eksplorasi linguistik dan metafisik. Saya tidak hanya menulis puisi sebagai bentuk ekspresi, tetapi juga sebagai ruang kontemplasi yang melibatkan berbagai dimensi pemikiran dan estetika.

Dalam menyusun karya, saya sering menggabungkan elemen-elemen sufistik, filsafat eksistensial, dan pengalaman pribadi, semuanya dikemas dalam bahasa yang penuh daya gugah. Puisi-puisi dalam Fragmen Luka tidak hanya mencerminkan perjalanan pribadi saya dalam menghadapi duka, tetapi juga menggambarkan bagaimana seni bisa menjadi media untuk memahami realitas yang lebih luas. Sebagai bagian dari Lesbumi NU, saya berusaha membawa perspektif spiritual dan kearifan lokal ke dalam karya ini, agar dapat relevan bagi berbagai lapisan pembaca.

Baca: Puisi Berhadiah Jubah Nabi

Pada akhirnya, Fragmen Luka adalah sebuah perjalanan yang tidak berujung. Ia mengajak pembaca untuk merenung, tersesat, dan menemukan diri mereka sendiri di antara baris-baris puisinya. Buku ini bukan sekadar kumpulan kata, melainkan pengalaman yang harus dirasakan secara langsung. Melalui konsep labirin tanpa pusat, puisi tanpa jawaban, dan ziarah batin, buku ini menghadirkan puisi dalam bentuk yang paling otentik: sebagai ruang untuk menjelajah, bukan sebagai sesuatu yang harus dimengerti secara mutlak.

Dengan demikian, Fragmen Luka bukan hanya sebuah buku puisi, tetapi juga sebuah perjalanan bagi siapa saja yang bersedia membukanya. Ia adalah undangan untuk berkelana di dalam bahasa, luka, dan perenungan, tanpa harapan akan jawaban yang pasti. Seperti ziarah yang sejati, membaca Fragmen Luka bukanlah tentang mencapai tujuan akhir, melainkan tentang apa yang ditemukan dalam proses perjalanan itu sendiri.

Kami mengundang para pembaca yang budiman untuk menyumbangkan buah pikirannya melalui kanal ‘Risalah, Khutbah, Opini, maupun Resensi.’ Kirimkan tulisan terbaik Anda melalui email redaksi@ikhbar.com

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.