Ikhbar.com: Satu dari tiga remaja Indonesia mengalami mental disorder alias gangguan mental. Data yang cukup mengejutkan ini tersaji dari hasil riset The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) akhir tahun lalu.
Jelasnya, sebanyak 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosis mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam kurun setahun terakhir. Keluhan mental yang paling banyak diderita adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7%, gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Persoalan mental menjadi ancaman cukup serius bagi masyarakat modern. Demikian diungkap cendekiawan Muslim Indonesia sekaligus pendiri Ghazalia College, KH Ulil Abshar Abdalla. Pun, nyaris setiap persoalan sosial yang timbul hari ini, turut disumbang oleh perkara yang berhubungan dengan mental setiap individu.
“Masyarakat modern kerap mengalami tekanan pada aspek kejiwaannya karena perkembangan yang terjadi di perkotaan,” kata sosok yang karib disapa Gus Ulil tersebut, saat memberi pengantar pada Ngaji Ihya’ Ulum al-Din seri 343 lewat akun Facebook Ulil Abshar Abdalla, dikutip pada Ahad, 26 Maret 2023.
Oleh karena itu, lanjut Gus Ulil, para tokoh tasawuf, terutama Imam Al-Ghazali, menganggap penting pembahasan ihwal penyakit hati sebagai rambu-rambu agar manusia terbebas dari ancaman gangguan mental.
“Kita sering menganggap bahwa tema-tema terkait penyakit hati sudah tidak relevan. Padahal, tema itu semakin dekat dan lekat dengan kehidupan modern,” katanya.
Lapisan tak terjamah
Gus Ulil menjelaskan, Ihya’ Ulum al-Din sebagai adikarya Al-Ghazali sendiri terbagi menjadi kuadran besar. Sedangkan seperempat ketiga dari bagian itu, dikhususkan membahas soal penyakit hati.
“Imam Al-Ghazali memakai istilah al-Muhlikat atau hal-hal yang bisa merusak rohani manusia,” ungkap Gus Ulil.
Menurut Gus Ulil, bukti bahwa gangguan kesehatan mental rentan diidap atau menyerang masyarakat modern adalah kehadiran disiplin ilmu psikologi hingga adanya teknis pengobatan kejiwaan psikiatri. Keduanya, memang penting dan sangat dibutuhkan, namun, masih ada satu level yang tidak terjamah dalam struktur kejiwaan manusia.
“Jadi, ada dimensi yang lebih dalam pada diri manusia, bukan hanya jiwa dalam pengertian dalam ilmu psikologi yang cenderung masih di lapis permukaan. Sesuatu yang lebih dalam itu disebut ruh (Roh, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI),” kata sosok yang juga menjabat Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
“Dan itu hanya bisa disentuh melalui pendekatan tasawuf,” sambung Gus Ulil.
Menantu ulama kharismatik KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus itu menjelaskan, ruh dalam bahasa Arab disebut an-nafs. Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikannya sebagai lathifah rabbaniyah alias sesuatu yang halus dalam diri manusia yang bersifat ketuhanan.
“Ruh itulah titik yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Kalau ruh sehat, insyaallah jiwa manusianya juga sehat,” katanya.
“Para sufi atau ahli kerohanian dalam Islam mengatakan bahwa manusia itu memiliki organ halus, yang itu bukanlah otak, otak memiliki fungsinya sendiri. Tetapi ia adalah ruh,” lanjutnya.
Bahaya hasud
Ruh menjadi sesuatu yang rentan terserang penyakit. Manusia yang memiliki masalah di level ruh, maka bisa berdampak pada sikap destruktif maupun agresif terhadap orang lain.
“Ruh ini harus dikenali gerak-geriknya, diamati penyakitnya. Salah satu penyakitnya adalah hasud (iri hati),” kata Gus Ulil.
Menurut Gus Ulil, hasud juga sering kali dianggap penyakit sederhana, padahal sangat berbahaya. Pasalnya, orang yang hasud hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Sementara yang dihasudi tidak terkena dampak apa-apa.
“Dalam Ihya diiibaratkan, orang yang hasud itu seperti orang yang ingin mencelakai temannya dengan cara melemparkan batu, akan tetapi tidak mengenai sasarannya, tetapi justru berbalik mengenai dirinya,” terang Gus Ulil.
Terlebih lagi, orang yang hasud telah diancam oleh Allah Swt dengan balasan yang pedih. Balasan itu tidak hanya berupa siksa neraka, namun, juga dibayar tunai ketika masih hidup di dunia.
“Yakni melalui penderitaan batin atau kesakitan dalam jiwanya karena iradatu zawalin nikmat anil maqsudi atau menginginkan hilangnya nikmat dari orang yang dihasudi,” katanya.
Penyakit hati yang berpotensi mengarahkan seseorang pada gangguan kejiwaan ini begitu berpotensi terjadi di tengah kehidupan yang kian narsistik dewasa ini.
“Apalagi kita hidup di era narsisme sosial, orang itu kepengin pamer, kepengin dilihat sebagai orang yang tampak keren. Dan ketika melihat ada orang lain yang lebih baik dari dirinya, bisa bikin hasud. Istilah kekiniannya, baper,” katanya.
Pungkas cerita, Gus Ulil menawarkan agar setiap individu bisa menguatkan ruh melalui penataan hati masing-masing. Kuncinya, melalui teladan laku para sufi yang mendekatkan dirinya secara total dan ikhlas selain hanya berharap pada keridaan Allah Swt.