Ikhbar.com: Tanggal 10 Muharam dikenal sebagai Hari Asyura. Dalam tradisi umat Islam, hari ini kerap dijadikan momentum untuk menumbuhkan kepedulian sosial, khususnya kepada anak yatim.
Penyantunan anak yatim pada 10 Muharam bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan cerminan nilai keadilan dan kasih sayang yang menjadi inti ajaran Islam. Kepedulian terhadap anak yatim juga mencerminkan kepekaan hati dan kekuatan iman seorang Muslim. Dalam pandangan Islam, anak yatim bukanlah objek belas kasihan semata, melainkan amanah yang harus dijaga martabat dan masa depannya.
Karena itu, Al-Qur’an secara tegas dan berulang menekankan pentingnya memuliakan anak yatim sebagai bentuk nyata ibadah sosial.
Baca: Doa saat Menyantuni Anak Yatim
Pengalaman Nabi
Nabi Muhammad Saw tidak dilahirkan dalam lingkungan mewah atau berkuasa. Sejak kecil, beliau hidup sebagai anak yatim dan tumbuh dalam keterbatasan.
Namun, dari kondisi inilah risalah besar Islam bermula. Pengalaman sebagai anak yatim bukan hanya menjadi latar kehidupan Nabi, tetapi turut membentuk akhlak dan empatinya terhadap kaum yang lemah. Nilai kepedulian terhadap anak yatim menjadi bagian dari ajaran Islam yang bersumber dari pengalaman hidup Rasulullah Saw. Hal ini terekam dalam QS. Ad-Dhuha: 6–9, Allah Swt berfirman:
اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ. وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ. وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ. فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Mendapatimu sebagai seorang yang tidak tahu (tentang syariat), lalu Dia memberimu petunjuk, dan mendapatimu sebagai seorang yang fakir, lalu Dia memberimu kecukupan? Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”
Menurut Imam Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyaf, ayat-ayat ini merupakan pengingat tentang kasih sayang Allah yang senantiasa menyertai Nabi sejak kecil.
Imam Zamakhsyari menjelaskan bahwa istilah “kekhilafan” dalam ayat ketujuh bukan berarti dosa, melainkan ketidaktahuan Nabi terhadap syariat sebelum turunnya wahyu. Meski hidup di tengah masyarakat jahiliah selama 40 tahun, Rasulullah tidak pernah terjerumus dalam kekafiran. Imam Zamakhsyari menegaskan bahwa Nabi dijaga dari perbuatan dosa, baik sebelum maupun sesudah kenabian.
Pada ayat kedelapan, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad pernah mengalami masa-masa sulit dalam kemiskinan. Namun, Allah mencukupinya melalui harta Sayyidah Khadijah dan rezeki yang diperoleh dari kemenangan dalam peperangan.
Sementara itu, dalam menafsirkan ayat kesembilan, Imam Zamakhsyari menekankan larangan tegas untuk menindas anak yatim dan menghardik siapa pun yang datang meminta, baik bantuan materi maupun ilmu. Pada bagian penutup ayat, Nabi diperintahkan untuk mensyukuri nikmat Allah dengan menyampaikan dan menyebarkan keberkahan-Nya. Menurut Imam Zamakhsyari, nikmat terbesar itu adalah wahyu Al-Qur’an, yang harus disampaikan kepada umat dengan penuh rasa syukur dan tanggung jawab.
Baca: 3 Hadis tentang Keutamaan Bulan Muharam
Ancaman mengabaikan anak yatim
Mengabaikan anak yatim bukan sekadar kelalaian, melainkan bentuk kegagalan moral. Mereka yang kehilangan pelindung justru paling layak mendapatkan perhatian, bukan dijauhkan atau diabaikan.
Islam mengecam keras sikap acuh terhadap anak yatim. Menghardik, menolak, apalagi menzalimi mereka adalah tanda hati yang keras dan iman yang lemah. Dalam QS. Al-Ma’un: 1–3, Allah Swt berfirman:
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ. فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ. وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.”
Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim menafsirkan frasa “yadu‘u al-yatīm” sebagai sikap kasar dan merendahkan kepada anak yatim. Menurutnya, perilaku ini bukan semata karena ketidakmampuan memberi, melainkan karena kesombongan dan hilangnya rasa empati.
Padahal, anak yatim adalah simbol dari kelompok yang paling lemah dan paling membutuhkan pertolongan. Maka siapa yang menghina mereka, sejatinya telah menghina semua golongan lemah.
Baca: Kisah-kisah di Bulan Muharam, dari Nabi Musa hingga Peristiwa Karbala
Tanda kesalehan sejati
Menyantuni anak yatim merupakan salah satu tanda nyata dari kesalehan seseorang. Kepedulian ini menjadi ujian, bukan hanya ketika lapang, tetapi justru saat berada dalam kesempitan.
Dalam Islam, kepedulian terhadap anak yatim mencerminkan iman yang hidup dan hati yang bersih.
Dalam QS. Al-Insan: 8, Allah Swt berfirman:
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا
“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.”
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. KH Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kepekaan hati para Al-Abrar atau orang-orang saleh terhadap kondisi sosial di sekitarnya, termasuk anak yatim. Kepedulian ini tidak terbatas pada pemberian makanan, tetapi mencakup pendidikan, kesehatan, dan dukungan emosional.
Baca: Cara Mudah Menghafal Nama-nama Bulan Hijriah
Pemberdayaan anak yatim
Memuliakan anak yatim tidak cukup dengan bantuan sesaat. Islam mendorong pemberdayaan agar mereka tumbuh dalam lingkungan yang layak, mandiri, dan bermartabat.
Al-Qur’an menekankan pentingnya memperbaiki kondisi hidup anak yatim secara berkelanjutan. Dalam QS. Al-Baqarah: 220, Allah Swt berfirman:
فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ وَاِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَاَعْنَتَكُمْ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, ‘Memperbaiki keadaan mereka adalah baik.’ Jika kamu mempergauli mereka, mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui siapa yang berbuat kerusakan dan siapa yang berbuat kebaikan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menyulitkanmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini merupakan tanggapan terhadap praktik masyarakat Arab yang enggan mempergauli anak yatim, khususnya terkait harta mereka. Ayat ini menjadi dasar bahwa memperbaiki kondisi anak yatim — termasuk pengelolaan hartanya — diperbolehkan selama dilakukan dengan niat yang baik dan penuh tanggung jawab.