Ikhbar.com: Musim haji tahun 1444 H/2023 M segera dimulai. Kloter pertama jemaah haji asal Indonesia dijadwalkan terbang ke Tanah Suci pada 23 Mei 2023.
Bagi jemaah yang hendak berangkat ke Baitullah disarankan mempersiapkan segalanya dengan matang. Pasalnya, haji merupakan serangkaian ibadah yang perlu dikerjakan dengan stamina yang prima, finansial yang cukup, dan mental yang kuat.
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan, ibadah haji merupakan bagian dari syariat umat-umat terdahulu. Akan tetapi, rangkaian ibadah haji yang dikenal saat ini merupakan syariat khusus umat Nabi Muhammad Saw.
Landasan kewajiban berhaji bagi umat Islam tercantum dalam QS. Ali Imran: 97. Allah Swt berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”
Imam Al-Baghawi dalam Tafsir Ma’alim at-Tanzil menjelaskan, ayat itu menyebut syarat wajib haji adalah Islam, baligh, berakal, merdeka, dan istitha’ah (mampu).
Berdasarkan QS. Ali Imran: 97 itu, ulama sepakat bahwa kewajiban haji tidak diperuntukkan kepada setiap orang. Ia hanya diwajibkan bagi Muslim yang telah memenuhi syarat, termasuk mampu. Kemampuan untuk berhaji inilah yang kemudian disebut istitha’ah.
Ihwal istitha’ah , Syekh Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa para ulama sepakat mengartikannya dengan “kemampuan untuk sampai ke Tanah Suci.” Meski demikian, terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait batasan atau kriteria istitha’ah tersebut.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kriteria istitha’ah adalah mampu dari aspek finansial. Artinya, seseorang dikatakan wajib melaksanakan ibadah haji ketika ia sudah memiliki cukup biaya untuk melakukan perjalanan ibadah tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw:
لما نزلت هذه الآية وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قام رجل فقال: يا رسول الله ما السبيل؟ قال: الزاد والراحلة
“Ketika turunnya ayat ini (QS. Ali Imran: 97), ada seseorang berdiri seraya bertanya, ‘Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan jalan itu? Rasulullah menjawab ialah bekal dan kendaraan.”(HR. Imam Ad-Daruqutni).
Baca: Apakah Menghajikan Istri Termasuk Kewajiban Suami?
Sementara, dalam Tafsir Al-Misbah, Prof Muhammad Quraish Shihab menegaskan, jika seseorang telah memenuhi istitha’ah, yakni sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan materi berupa ongkos dan bekal perjalanan, mencukupi biaya keluarga yang ditinggalkan, jalan ke Tanah Suci berstatus aman, maka orang tersebut berdosa jika menolak panggilan Allah Swt untuk berhaji.
Dalam Tafsir al-Imam as-Syafi’i dijelaskan bahwa Mazhab Syafi’i membagi istitha’ah menjadi dua bagian, yakni istitha’ah bi al-nafsi, yang artinya orang tersebut mampu melaksanakan ibadah haji secara langsung oleh dirinya sendiri, baik secara fisik maupun finansial. Kemudian istitha’ah bi al-ghairi atau kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji hanya dari segi finansial. Artinya, secara fisik dia tidak mampu melakukan perjalanan ke Tanah Suci lantaran sakit atau faktor lain. Untuk kasus seperti ini, orang tersebut tetap dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji dengan cara menyewa jasa badal haji.
Berbeda dengan Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sehat secara fisik juga menjadi syarat untuk dianggap istitha’ah. Dalam Badai’i al-Shanai, Imam ‘Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi menyebut orang yang secara fisik tidak mampu melakukan perjalanan ke Tanah Suci karena cacat atau sakit, maka tidak dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji.
Terlepas dari perdebatan tersebut, dalam keterangan Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan syarat seseorang dianggap istitha’ah adalah memiliki bekal dan kendaraan, sehat, jalur perjalanan aman, masih sempat melakukan perjalanan, dan didampingi mahram (bagi perempuan).