Ikhbar.com: Pembahasan sabar menjadi perhatian tersendiri di dalam Al-Qur’an. Hal itu dibuktikan melalui Muhammad Abd Al-Baqi dalam Mu’jam Mufahras li Al-Fazhil Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kata sabar disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 100 kali.
Mufasir terkemuka Prof Quraish Shihab dalam Cahaya Ilahi (2007) mengartikan sabar sebagai menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik.
Sementara, Jalaluddin Rakhmat dalam Meraih Cinta Ilahi (1999) menguraikan tentang istimewanya orang sabar. Menurutnya, orang yang sabar adalah mereka yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya.
Orang sabar menurut Jalaluddin Rakhmat biasanya tabah dalam menghadapi setiap kesulitan. Misalnya, ketika belajar, ia selalu tekun, berhasil mengatasi berbagai gangguan, serta juga dapat mengendalikan emosinya.
Secara umum, aspek sabar mencakup dua hal, yaitu sabar dalam menghadapi penderitaan, dan sabar dalam menghadapi kesenangan. Berikut ini lima aspek sabar dalam Al-Qur’an:
Sabar terhadap cobaan dunia
Dalam aspek ini, nyaris setiap orang pernah mengalaminya. Karena sejatinya, cobaan merupakan dinamika dari kehidupan manusia. Hal itu seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 155.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap cobaan harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Abdul Karim Al-Qusyairi dalam Lata`if al-Isyarat Al-Qusyairi menyatakan bahwa ujian tidak hanya berpotensi memberatkan, melainkan juga ada yang menyenangkan.
Al-Qusyairi membagi ujian dari Allah Swt. secara garis besar menjadi dua bentuk, yakni ujian berupa kenikmatan, dan ujian berupa kesengsaraan.
ابْتَلاَهُمْ بِالنِعْمَةِ لِيُظْهِرَ شُكْرَهُمْ وَابْتَلاَهُمْ بِالْمِحْنَةِ لِيُظْهِرَ صَبْرَهُمْ
“Allah Swt menguji hambaNya dengan kenikmatan untuk menampakkan rasa syukur mereka, dan menguji dengan kesengsaraan untuk menampakkan kesabaran mereka.”
Selanjutnya, sikap sabar yang dimaksud ada pada ayat berikutnya:
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
Ungkapan ini menurut Al-Alusi dalam Ruh Al-Ma’ani, tak hanya melalui lisan, melainkan juga dengan hati. Hal tersebut dilakukan dengan menanamkan dalam hati untuk mengenal Tuhan dan berusaha menyempurnakan jiwa yang menjadi tujuan ia diciptakan Allah Swt.
Sabar menahan hawa nafsu
Tak bisa dipungkiri bahwa sejatinya manusia mencintai kesenangan dan kenikmatan duniawi. Hal itu sebagaimana dalam QS. Ali Imran: 14-15.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
قُلْ اَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِّنْ ذٰلِكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”.
“Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya.”
Syaikh Muhammad bin Shalih As-Syawi menyebutkan dalam An-Nafahat Al-Makkiyah bahwasannya ayat ini menunjukkan manusia menyukai barang-barang yang diingini, misalnya perempuan, anak, cucu, emas dan perak.
Segala keinginan itu menurutnya tak perlu dikejar berlebihan. Pasalnya, tempat terbaik untuk kembali adalah Allah Swt.
Allah Swt juga menguji manusia tak hanya dengan penderitaan, tetapi juga dengan kesenangan, seperti falam QS. Al-Anbiya: 35:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
Prof Quraish Shihab menegaskan dalam Tafsir Al-Misbah bahwa, ujian dengan kebaikan biasanya lebih sulit daripada ujian malapetaka. Karena manusia mudah lupa daratan saat senang, sedangkan dalam kesulitan ia cenderung lebih butuh sehingga dorongan untuk mengingat Allah Swt lebih kuat.
Sementara pada keterangan Tafsir Kemenag menyebutkan, apabila cobaan itu berupa musibah, maka bertujuan untuk menguji sikap dan hidup manusia, apakah akan bersabar dan bertawakal dalam menghadapi cobaan tersebut. Namun, jika cobaan berupa suatu kebaikan, maka tujuannya untuk menguji sikap mental manusia, apakah akan bersyukur atas segala rahmat yang dilimpahkan atau justru malah kufur kepada Allah Swt.
Sabar menjalani ketaatan
Seorang Muslim dituntut untuk bersabar dalam menjalankan segala perintah Allah Swt. Hal itu seperti yang termaktub dalam QS. Maryam: 65.
رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا
“(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepadaNya. Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama denganNya?”
Dalam Tafsir Kemenag disebutkan, perintah bersabar pada ayat tersebut diungkapkan dengan lafaz isthabir dengan shighat kata kerja perintah untuk melakukan sesuatu dengan lebih maksimal.
Penggunaan partikel lam (li) dalam ungkapan di atas mengandung pengertian keberlangsungan secara terus menerus dan permanen dalam menunaikan ibadah.
Sabar terhadap gangguan non-Muslim
Jika mendapat gangguan dari non-Muslim, maka hendaknya selalu bersabar. Seperti dalam firman Allah dalam QS. Ali Imran: 186.
لَتُبْلَوُنَّ فِيْٓ اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُمْۗ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا اَذًى كَثِيْرًا ۗ وَاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
“Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.”
Menurut Prof Quraish Shihab dalam Ayat-Ayat Fitna, Sekelumit Keadaban Islam di Tengah Purbasangka (2008) mengungkapkan, perintah bersabar pada ayat di atas bukan berarti menerima penghinaan dan berlagak memaafkan.
Sabar merupakan menahan gejolak emosi demi meraih apa yang baik bahkan lebih baik. Pencapaian tersebut tak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki mental yang kuat.
Sabar dalam menjalin hubungan sosial
Sikap sabar juga menandakan individu yang beradab. Karena orang yang tidak beradab kerap kali tak mampu mengontrol emosinya dan berujung menyinggung perasaan orang lain.
Al-Qur’an merekam sikap orang yang tidak beradab melalui perilaku orang-orang Arab Badui yang memanggil Rasulullah Saw dengan suara keras dan sikap tidak sopan dari balik kamar istri-istri beliau.
Meskipun sikap tersebut ditolerir karena ketidaktahuan, namun Al-Qur’an mengecam mereka dengan sebuah teguran melalui QS. Al-Hujurat: 4-5.
إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ (4) وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau (Muhammad) dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan sekiranya mereka bersabar sampai engkau keluar menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Selain itu, sikap sabar juga harus diterapkan dalam kehidupan suami-istri. Pasalnya, sabar merupakan faktor utama dalam keharmonisan keluarga. Pesan tersebut seperti yang tercantum dalam QS. An-Nisa: 19.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Imam Al-Zamakhsari dalam Tafsir Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa mu’asyarah bil ma’ruf secara umum ditafsirkan berlaku adil dalam hal tempat tinggal dan nafkah, serta memperhalus tutur kata.
Sementara, Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menafsirkan mu’asyarah bil ma’ruf sebagai berbicara bagus, memperbaiki perilaku dan penampilan, serta berperilaku adil dalam hal nafkah dan tempat tinggal.
Kata عَاشِرُو tak lain merupakan derivasi dari kata الــمُعاشَرَةُ yang memiliki fungsi musyarakah (kesalingan). Sehingga penggunaan kata muasyarah dalam ayat ini menurut Wahbah Az-Zuhaili mengusung semangat kesetaraan, sehingga perintah untuk mu’asyarah bil ma’ruf tidak hanya berlaku untuk pihak suami, pun pihak istri juga wajib meneguhkan prinsip ini.