Assalamualaikum. Wr. Wb.
Redaksi Ikhbar.com dan Kiai Alam, perkenalkan, nama saya Muhammad Ilham, asal dari Tangerang, Provinsi Banten.
Saya ingin bertanya, haji adalah kewajiban bagi umat Islam yang mampu. Lantas, apakah keberangkatan istri ke Tanah Suci untuk berhaji termasuk tanggung jawab nafkah bagi suami yang secara finansial (keuangan) sudah bisa dikategorikan sebagai keluarga mampu?
Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Terima kasih, Bapak Muhammad Ilham yang budiman, atas pertanyaannya.
Benar, haji merupakan rukun Islam yang kelima dan dihukumi wajib bagi setiap Muslim yang mampu untuk menunaikannya. Mampu dalam hal ini termasuk fisik, mental, dan finansial. Selain itu, setiap Muslim yang berhaji pun tetap wajib menanggung nafkah kerabat dan keluarga yang ditinggalkan selama di Tanah Suci.
Biaya yang diperlukan untuk pergi haji difokuskan pada ongkos perjalanan, pembelian perlengkapan ibadah, kebutuhan makan sehari-hari, dan lainnya. Dalam artian, kemampuan dalam menunaikan ibadah haji tidak cuma sebatas pada ongkos keberangkatan, tetapi juga dalam menjamin kebutuhan sehari-hari selama di Tanah Haram.
Pada asalnya, hukum membiayai perjalanan seorang istri untuk menuju suatu tempat bukanlah tergolong dalam urusan nafkah. Lebih tepatnya, jika perjalanan tersebut bukan termasuk kepentingan suami.
Istri yang melakukan perjalanan untuk kepentingannya sendiri, tidak menyebabkan kewajiban bagi seorang suami untuk menanggung biaya perjalanan tersebut. Meski demikian, beberapa ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i berpandangan bahwa suami tetap wajib menanggung biaya perjalanan istri dalam hal keperluan yang mendesak, seperti mengunjungi orang sakit atau dalam situasi darurat.
Sementara kaitan dengan kewajiban berhaji, Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
من استطاع ان يحج فلم يحج، إن شاء مات نصرانيا و إن شاء مات يهوديا
“Barang siapa yang sudah mampu untuk pergi haji, tetapi tidak berhaji, maka jika ia mau, ia bisa mati dalam kondisi Nasrani atau pun dalam keadaan Yahudi.” (HR. Baihaqi)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa setiap individu yang dinilai telah memiliki kemampuan dalam berhaji wajib untuk segera menunaikannya. Hukum haji ini, bukan bersifat kepentingan sepihak, melainkan kewajiban bagi setiap Muslim.
Terkait tanggungan biaya haji istri, para ulama berbeda pendapat. Namun, jika merujuk pada pendapat yang muktamad (paling banyak dijadikan sandaran), maka biaya menunaikan haji bukanlah termasuk nafkah dan bukan merupakan tanggung jawab suami kepada istrinya.
Meski demikian, jika seorang istri menunaikan haji dan biaya ditanggung oleh suaminya, hal tersebut tetap tercatat sebagai amal kebaikan dan berbuah pahala yang besar.
Terlebih lagi, dalam tradisi masyarakat Indonesia, suami dan istri kerap menerapkan sistem harta bersama dalam rumah tangga. Sehingga ketika seorang suami pergi haji tanpa membawa istrinya, maka berpotensi memunculkan anggapan yang tidak cuma berkait paut dengan hukum fikih, tetapi juga merangsek hingga norma-norma kepantasan.
Jika merujuk pada kondisi tersebut, suami yang hendak (mendaftar/berencana) pergi haji, sudah sepatutnya menyertakan sang istri guna menghindari fitnah. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Penjawab: KH Ahmad Alamuddin Yasin, Pakar Hukum Keluarga Islam, Pengasuh Pondok Darussalam Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat.