Ikhbar.com: Pemerintah Indonesia menetapkan batas umur minimal menikah yakni 19 tahun. Aturan tersebut tercantum dalam Undang-Undang nomor UU Nomor 16 Tahun 2019 perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam Islam, batas minimal usia menikah menggunakan kata baligh. Tidak adanya penyebutan angka pasti tersebut memicu berbagai pendapat.
Mazhab Syafi’i mengartikan kata baligh dengan keluarnya darah haid bagi perempuan dan dan mimpi basah bagi laki-laki. Maka muncullah pertanyaan “Apakah jika seorang perempuan sudah menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah layak untuk menikah?”
Jika dilihat dari tujuan pernikahan yang menyebutkan sebagai upaya mendapatkan keturunan dan memenuhi kebutuhan biologis, maka pertanyaan tersebut bisa jadi benar.
Karena jika ditinjau dari sisi biologis, menstruasi merupakan sebuah tanda bahwa seorang perempuan siap untuk dibuahi. Sedangkan mimpi basah merupakan sebuah tanda bahwa seorang laki-laki bisa mengeluarkan sperma dan membuahi.
Hal itu akan berbeda jika ditinjau dari sisi psikologis. Perdebatannya, umur perempuan yang mengalami menstruasi ini memiliki perbedaan. Ada yang mengalaminya saat SMP, ada pula saat kelas 6 SD. Begitu juga dengan masalah mimpi basah karena kedua hal ini sangat erat kaitannya dengan horman setiap orang.
Maka, jika ditinjau dari kacamata psikologis, alasan tersebut belum memenuhi mereka untuk dinyatakan siap untuk menikah. Sebab, pernikahan ini memiliki seabrek permasalahan yang kompleks, seperti tanggung jawab sosial, moral, bahkan finansial.
Bayangkan, misal perempuan kelas 6 SD dan laki-laki kelas 3 SMP mereka menikah kemudian harus mengemban beban yang tidak ringan tersebut?
Tafsir QS An-Nisa ayat 6
وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”
Meski sekilas nampak ayat tersebut seperti menjelaskan soal pengelolaan harta anak yatim oleh seorang wali, namun ayat ini digunakan oleh ulama fikih sebagai landasan batas minimal usia menikah.
Mufasir sekelas Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa, jika seorang anak yatim sudah mencapai tingkat kedewasaan tertentu, yang dengan itu dia bisa mengelola hartanya dengan baik, maka seorang wali harus memberikan hak kelola harta tersebut kepada si anak yatim.
Redaksi ayat pada QS An-Nisa ayat 6 itu memang menunjukkan bahwa objek atau khitab dari ayat ini adalah anak yatim. Namun, ayat sebelumnya menjelaskan tentang hak wali kepada anak yatim adalah untuk menikahkannya ketika sudah mencapai usia yang cukup.
Quraish Shihab memaknai kata ruysd dalam ayat ini dengan ketepatan dan kelurusan jalan. Ia menjelaskan bahwa kata rusyd bagi manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa, yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin.
Dalam upayanya mencari makna rusyd, Quraish Shihab mencari kata yang seakar dengannya, yakni mursyid yang memiliki arti pemberi petunjuk atau bimbingan yang tepat.
Dalam keterangan Al-Misbah, Quraish Shihab menyebutkan, orang yang telah menyandang sifat itu secara sempurna dinamai rasyid yang oleh Imam Ghazali diartikan sebagai dia yang mengalir penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk pembenaran atau bimbingan dari siapa pun.
Dengan menggunakan metode tahlili, Quraish Shihab menjelaskan ayat Al-Qur’an per ayat dan mengungkap makna setiap kata yang terdapat pada ayat yang mencerminkan corak kebahasaan pada tafsirnya.
Dengan demikian, jika melihat penjelasan dari penafsiran Quraish Shihab tentang makna rusyd, dapat dipahami bahwa kelayakan seseorang untuk menikah bukan semata ditentukan oleh faktor biologis. Akan tetapi kedewasaan akal dan jiwa juga harus dipenuhi mengingat pernikahan merupakan ibadah terlama.
Sebab, bisa jadi ketika menikah mereka akan banyak diliputi dinamika kehidupan yang penuh dengan manis dan pahit. Oleh karena itu, kesiapan mental, fisik, dan finansial harus benar-benar diperhatikan agar tujuan luhur pernikahan bisa tercapai.