Ikhbar.com: Hukum memakai hijab atau jilbab bagi perempuan muslim masih menjadi bahan dialektika seru di kalangan umat Islam. Terdapat silang pendapat di antara para ulama terkait kewajiban tersebut. Akan tetapi, hal ini perlu dimaknai sebagai berkah serta bukti betapa dinamis dan lembutnya syariat Islam yang disampaikan Rasulullah Muhammad Saw sebagai ajaran yang rahmatan lil alamin.
Dalil dasar terkait anjuran pemakaian jilbab bagi perempuan adalah QS.Ahzab: 59;
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ulama tafsir Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari atau Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Muhammad ibn Sirrin bertanya kepada ‘Abidah as-Salamani tentang maksud penggalan ayat tersebut. Lalu ‘Abidah mengangkat semacam selendang dan memakainya sambil menutup seluruh bagian kepala hingga wajah dan memastikannya membuka mata untuk melihat dari arah sebelah kirinya.
As-Suddi berkata, ”Wanita menutup salah satu matanya dan dahinya demikian juga bagian lain dari wajahnya kecuali satu mata saja.”
Al Qurthubi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa Ibn Mas’ud memahami obyek ayat tersebut adalah sebuah pakaian. Sedangkan Said bin Jubair, Atha’, dan al-Auzai berpendapat bahwa yang boleh terlihat dari perempuan adalah wajah, kedua telapak tangan, di samping busana yang dipakainya.
Sementara itu, Ibn Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat termasuk celak mata, gelang, dan setengah dari tangan. Alasannya, Rasulullah Muhammad Saw pernah bersabda;
لا يحل لإمرأة تؤمن بالله واليوم الأخر إذا عركت أن تظهر إلا وجهها ويديها إلى ههنا (وقبض نصف الذراع)
“Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai di sini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau).”
Syekh Wahba Az-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adilatuhu menyimpulkan pendapat para ulama empat mazhab tentang batasan aurat sebagai berikut;
Pertama, menurut mazhab Hanafi, aurat perempuan merdeka dan yang sesamanya, yakni khuntsa (banci), adalah seluruh badan sampai rambutnya. Menurut pendapat yang sahih, selain wajah, telapak tangan, dan telapak kaki baik bagian dalam maupun luar.
Kedua, menurut mazhab Maliki, aurat perempuan di hadapan laki-laki lain ialah seluruh badan selain wajah dan telapak tangan. Sedangkan di hadapan mahramnya seluruh badan selain wajah dan anggota-anggota seperti kepala, leher, kedua tangan, dan kedua kaki.
Ketiga, mazhab Syafi’i berpendapat aurat perempuan dan sesamanya mencakup seluruh badan selain wajah dan telapak tangan baik bagian luar maupun dalam, dari ujung jari sampai pergelangan tangan.
Keempat, berdasarkan mazhab Hambali, aurat perempuan beserta para muhrim laki-laki adalah selain badanya selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis. Semua badan wanita sampai muka dan kedua telapak tangan di luar salat adalah aurat.
Sedangkan menurut pendapat mayoritas ulama dari keempat mazhab tersebut perempuan hanya diperbolehkan membuka aurat atas keperluan mendesak dan darurat, seperti berobat, berhajat di tempat yang sunyi, khitan, mengetahui masa balig, perawan dan tidaknya perempuan, dan cacat.