Ikhbar.com: Kabar kematian masih seringkali diumumkan di berbagai daerah ketika ada seseorang yang meninggal dunia.
Biasanya, pengumuman kabar kematian ini menggunakan pengeras suara dari salah satu masjid atau musala. Tak jarang juga pengumuman kabar duka ini dilakukan di berbagai media sosial.
Pengumuman kabar duka tersebut kerap kali justru membuat keluarga yang tengah berduka bertambah sedih. Bagaimana pandangan Islam terkait hal ini?
Menanggapi hal itu, Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an memang menyarankan bagi seseorang untuk memberi tahu sanak keluarga yang ditinggalkan ketika ia mendengar kabar duka.
Meski demikian, Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa tindakan tersebut oleh sebagian ulama dianggap makruh. Bahkan, mereka ada yang berpendapat bahwa tradisi mengabarkan kematian saat sebelum masa Islam itu haram. Sebab, saat itu tradisi atau caranya tidak tepat.
Sedangkan menurut al-Mawardi, ada tiga pendapat terkait hukum mengumumkan atau menyebarkan berita kematian seseorang. Pendapat pertama, sunah; pendapat kedua, tidak sunah; pendapat ketiga, hanya disunahkan bagi jenazah yang kurang dikenal.
Meski demikian, Imam Nawawi mengumbau untuk tidak menyalahkan pihak yang membolehkan hukum menyiarkan kabar kematian. Karena menurutnya, ulama tersebut memiliki dasar hadis yang kuat.
Ulama yang membolehkan hukum menyiarkan kabar duka tersebut menurut Imam Nawawi yakni berlandaskan pada hadia berikut ini:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَعَى النَّجَاشِىَّ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ ، خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى ، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
Sesungguhnya Rasulullah Saw menyebarkan berita kematian Raja Najasyi di hari kematiannya. Beliau keluar menuju ke tempat salat, membuat barisan, lalu takbir empat kali (H.R. Imam Bukhari).
Sedangkan ulama yang menyatakan mengumumkan kematian seseorang hukumnya tidak sunah atau makruh, mendasarkan pendapat salah satunya pada hadis yang diriwayatkan Bilal ibn Yahya:
كَانَ حُذَيْفَةُ إِذَا مَاتَ لَهُ الْمَيِّتُ قَالَ لاَ تُؤْذِنُوا بِهِ أَحَدًا إِنِّى أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِأُذُنَىَّ هَاتَيْنِ يَنْهَى عَنِ النَّعْىِ.
Sahabat Hudzaifah, ketika ada seseorang meninggal, berkata: “Jangan menyebarkan berita kematiannya pada siapapun. Aku khawatir itu menjadi na’yu (tradisi jahiliah). Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah dengan kedua telingaku ini, beliau melarang na’yu (HR. Ibn Majah).
Menanggapi pro kontra tersebut, Imam Asyaukani menilai bahwa menyebarkan berita kematian seseorang untuk kepentingan memandikan, mengkafani, mensalati, dan memakamkan jenazah tidaklah masuk kategori menyebarkan berita kematian yang dilarang.
Kan tetapi, yang dilarang menurutnya adalah jika berdasarkan cara yang berkembang di masa jahiliyah. Misalnya, dengan tujuan menyombongkan diri dengan banyaknya orang yang datang, mengajak orang-orang melakukan jeritan-jeritan sambil menyebut-nyebut kelebihan si jenazah, serta tujuan dan cara lain yang jelas dilarang oleh Islam.