Ikhbar.com: Perbincangan mengenai hukum mengucapkan “Selamat Natal” kerap muncul di pengujung tahun, terutama di kalangan Muslim Indonesia. Topik ini pun tak jarang memantik diskusi yang tajam di antara para ulama dan menampilkan spektrum pandangan yang mencerminkan keberagaman interpretasi ajaran Islam.
Meski begitu, perbedaan pandangan tentang boleh tidaknya mengucapkan tahniah atas perayaan lintas iman bukanlah isu baru dan hanya berlaku di Indonesia. Sejak dahulu, para ulama dari berbagai dunia telah memberikan pandangan yang beragam, khususnya tentang hukum mengucapkan “Selamat Natal.” Berikut adalah sejumlah penjelasannya:
Baca: Sambut Natal di Tengah Perang Hamas-Israel, Gereja di Palestina Buat Dekorasi dari Reruntuhan
Melarang demi akidah
Sebagian ulama, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Syekh Ibn Baz menegaskan haramnya mengucapkan “Selamat Natal.” Mereka berpandangan bahwa ucapan tersebut dapat dipahami sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan agama lain, yang bertentangan dengan prinsip tauhid.
Para tokoh tersebut menjadikan QS. Az-Zumar: 7, yang menekankan ketidakridaan Allah Swt terhadap kekafiran sebagai rujukan utama.
Allah Swt berfirman:
اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَۚ وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ ثُمَّ اِلٰى رَبِّكُمْ مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
“Jika kamu kufur, sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu. Dia pun tidak meridai kekufuran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam dada.”
Pendapat ini diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa perilaku meniru entitas lain dapat digolongkan sebagai bagian dari entitas tersebut.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Larangan tersebut memang ditekankan dengan tujuan untuk menjaga identitas dan kemurnian akidah Islam dari pengaruh eksternal. Namun, kritik terhadap pandangan ini muncul ketika interpretasinya dianggap terlalu kaku dan kurang mempertimbangkan konteks sosial.
Baca: Menyoroti Pesta Halloween di Negeri Muslim
Boleh dengan semangat toleransi
Sebaliknya, ulama seperti Syekh Yusuf Al-Qaradawi dan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama (NU) menganggap ucapan “Selamat Natal” sebagai bagian dari muamalah dan bukan ranah akidah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah: 8, yang mengajarkan Muslim untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangi umat Islam.
Allah Swt berfirman:
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Ucapan selamat dianggap sebagai ekspresi penghormatan, bukan bentuk pengakuan teologis. Dalam hubungan sosial yang erat, terutama antara keluarga atau rekan kerja lintas agama, sikap ini dipandang relevan untuk menjaga harmoni.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, bahkan menyatakan bahwa ucapan tersebut sah-sah saja selama tidak disertai keyakinan terhadap ajaran agama lain.
Baca: Nyai Alissa Wahid: Bhineka Tunggal Ika masih Sebatas Retorika
Ruang tengah yang bijak
Pada 1981, MUI telah secara resmi melarang umat Islam untuk mengikuti perayaan Natal bersama demi menjaga akidah. Namun fatwa ini tidak secara spesifik membahas soal ucapan selamat. Sikap ini menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap asimilasi budaya yang dianggap dapat melemahkan identitas keislaman.
Yang perlu diingat adalah bahwa agama sering kali berada dalam interaksi langsung dengan realitas sosial. Dalam konteks Indonesia, yang majemuk dan penuh dinamika, sikap bijak adalah dengan tidak memaksakan interpretasi tunggal atas persoalan tersebut.
Umat Islam dapat memilih untuk mengucapkan atau tidak berdasarkan keyakinan masing-masing, tanpa harus mencela pilihan pihak lain.
Baca: NU dan Muhammadiyah Jadi Potret Islam di Indonesia
Mengucapkan “Selamat Natal” bukan sekadar persoalan hukum halal-haram, tetapi juga refleksi atas bagaimana seseorang memahami hubungan antarumat beragama. Dalam konteks ini, toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan menjadi pilar penting selama akidah tetap terjaga.
Pada akhirnya, harmoni sosial tidak hanya soal apa yang diucapkan, tetapi bagaimana menjaga niat dan kebijaksanaan dalam bersikap.