Ikhbar.com: Suasana yang mencekam menjadi pemandangan sehari-hari di sepanjang perang Israel-Hamas di Gaza, Palestina. Teror serangan roket dan senjata api menggelayuti benak penduduk sehingga menyisakan ketakutan dalam beraktivitas, termasuk beribadah.
Namun, salat tetap harus ditegakkan dalam situasi apapun. Peperangan bukan alasan yang diterima syariat untuk meninggalkan salat. Solusinya, terdapat metode salat yang bisa digunakan dalam situasi kelam yang berpotensi mencelakakan, yang disebut salat khauf (cara salat dalam situasi ketakutan).
Salat khauf bukanlah salat tersendiri karena ada sebab khusus, seperti istisqa (salat meminta hujan) atau khusuf (salat gerhana bulan). Melainkan sebuah metode tertentu yang dipraktikkan dalam salat wajib lima waktu ketika berada pada situasi yang tidak biasa.
Dalam QS. An-Nisa: 102, Allah Swt memberikan petunjuk tentang penyelenggaraan shalat khauf.
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَك
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu.”
Baca: Jaminan Keselamatan Tawanan Perang dalam Islam
Jenis dan metode
Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fathul Qarib menjelaskan, salat khauf bisa dilakukan dengan cara beragam, tergantung pada letak dan posisi ancaman. Pertama, ketika jumlah musuh lebih sedikit dari kaum Muslimin dan posisi mereka tidak berada di arah kiblat.
Situasi kedua, musuh berada di arah kiblat dalam jumlah yang banyak. Sedangkan ketiga, di saat kaum Muslimin berada dalam peperangan yang berkecamuk.
Ketika jumlah musuh lebih sedikit
Dalam situasi pertama, imam salat bisa membagi jemaah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berdiri menghadapi musuh dan kelompok yang lain berada di belakang imam.
Imam melakukan satu rakaat dengan kelompok di belakangnya. Pada rakaat kedua, mereka menyempurnakan sisa salatnya sendiri tanpa mengindahkan imam. Usai itu, mereka pergi menghadapi musuh, sementara kelompok yang lain, yang sebelumnya berjaga di belakangnya, melaksanakan salat mereka yang pertama.
Setelah itu, Imam mengerjakan satu rakaat dengan mereka dan ketika imam duduk untuk tasyahud, jemaah bisa menyelesaikan sisa salat. Lalu imam menunggu untuk bersalam bersama mereka.
Metode ini disebut Salat Dzatu Ar-Riqa, diambil dari nama perang yang terjadi pada tahun ke-7 Hijriah. Pertempuran itu terjadi saat kaum Muslimin menghadapi Bani Muharib, Bani Tsa’labah, dan Bani Ghathafan di daerah dekat Najd.
Saat pasukan musuh lebih banyak
Pada situasi kedua, imam membagi jamaah menjadi dua baris, lalu melakukan takbiratulihram bersama semuanya. Ketika imam sujud, salah satu dari dua saf itu melakukan dua sujud bersama imam. Sementara baris kedua tetap berdiri menghadap musuh.
Saat imam mengangkat kepalanya, maka baris kedua menyusul imam, serta bertahiyat dan salam bersama imam dan baris pertama.
Metode salat ini dilakukan Rasulullah Muhammad Saw saat berada di Desa ’Asfan, yaitu suatu desa di jalan menuju haji bagi orang Mesir.
Baca: Rufaidah Al-Aslamiyah, Perempuan Pelopor Paramedis Perang
Di tengah pertempuran
Menghadapi situasi ketiga, tidak ada metode tertentu seperti pada situasi pertama dan kedua. Hal ini karena situasi yang tidak memungkinkan untuk menghindari kontak fisik dengan musuh.
Pelaksanaan salat dilakukan dengan berjalan kaki menurut kemampuannya, atau sambil berkendara dengan menghadap kiblat atau tidak.
Gerakan di luar rukun salat yang terjadi selama situasi ini diampuni karena termasuk kategori ‘udzur (alasan yang dibolehkan).