Ikhbar.com: Masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya bagi mereka yang berada di perantauan mulai bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman demi bisa berlebaran bersama keluarga. Tradisi yang biasa disebut dengan mudik ini bahkan dilakukan dengan menempuh jarak dari puluhan hingga ratusan kilometer.
Tradisi ini juga kerap kali menimbulkan pertanyaan, apakah benar para pemudik boleh tidak berpuasa? Pertanyaan tersebut muncul seiring dengan pelaksanaannya yang masih berada di bulan Ramadan.
Baca: 30 Ucapan Selamat Idulfitri dalam Bahasa Arab dan Artinya, Cocok untuk WA dan Medsos (1)
Para ulama menjelaskan, setidaknya ada dua pilihan bagi pemudik. Yakni, melanjutkan puasa atau memilih untuk membatalkannya.
Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, yakni Imam Malik dan Imam Syafi’i menyarankan pemudik untuk tetap menjalankan puasanya selama perjalanan.
Pendapat tersebut tercantum dalam Tafsir Al-Bahrul Muhith, karya Imam Abu Hayyan Al-Andalusi berikut:
وَاخْتَلَفُوا فِي الْأَفْضَلِ ، فَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ ، وَأَصْحَابُهُ ، وَمَالِكٌ ، وَالشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ مَا رُوِيَ عَنْهُمَا : إِلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ.
“Para ulama berselisih pendapat mengenai hal yang paling utama terkait bagi musafir apakah tetap berpuasa atau membatalkannya. Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam sebagian apa yang diriwayatkan dari keduanya, mereka berpendapat bahwa tetap berpuasa saat bepergian jauh itu lebih utama.”
Sementara Imam Al-Auza’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq lebih sepakat bahwa yang paling utama bagi pelaku perjalanan adalah untuk tidak melanjutkan puasanya.
وَذَهَبَ الْأَوَزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ إَلَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَل
“Imam Al-Auza’i, Ahmad, dan Imam Ishaq mereka berpendapat bahwa membatalkan puasa itu lebih utama.”
Sementara itu, dalam Nihayatul Muthlab, Imam Haramain Al-Juwaini mencoba menggabungkan dua pendapat tersebut dan memberikan solusi sebagai berikut:
فَالْمُسَافِرُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ وَالصَّوْمُ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِذَا لَمْ يَظْهَرْ ضَرَرٌ.
“Maka musafir bisa memilih antara berpuasa dan tidak. Dan berpuasa itu lebih utama apabila tidak tampak adanya bahaya.”
Hal senada juga disampaikan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj berikut:
وَمَرَّ أَنّهُ إنْ تَضَرًّرَ بِالصَّوْمِ فَالفِطْرُ أَفْضلُ، وَإلَّا فَالصَّوْمُ أًفْضَلُ.
“Dan sebagaimana keteralangan yang lalu, bahwasanya jika musafir membahayakan dirinya dengan puasa, maka tidak puasa lebih baik. Dan apabila tidak demikian maka puasa lebih baik.”
Baca: Tutorial Salat Jamak Qashar Lengkap dengan Bacaan Niat, Latin, dan Terjemahannya
Ketentuan jarak tempuh
Imam Syafi’i berpendapat, pemudik boleh membatalkan puasanya jika menempuh perjalanan minimal sepanjang 16 farsakh atau 2 marhalah (atau sekitar 82 km).
Sementara Imam Hanafi menetapkan jarak tempuh untuk pemudik agar boleh tidak puasa minimal 5 km. Sedangkan Imam Maliki berpendapat penetapan jaraknya 88 km untuk pemudik jika ingin membatalkan puasa.
Baca: Pentingnya Doa dan Perencanaan sebelum Bepergian
Wajib mengqadha
Meski boleh membatalkan, para pemudik tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa di lain hari. Hal itu seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 184. Allah Swt berfirman:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan), itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Imam Abi Syuja’ dalam Al-Ghayah wat Taqrib menjelaskan:
وَالْمَرِيْضُ وَالمُسَافِرُ سَفَرًا طَوِيْلًا يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ .
“Orang yang sakit dan orang yang bepergian dengan jarak yang jauh (masafah qashr), maka mereka berdua boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha.”