Ikhbar.com: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof. Dr. KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan 10 kriteria aliran sesat. Daftar tersebut disusun guna dijadikan sebagai parameter dalam menetapkan fatwa terkait akidah.
“Kriteria ini merupakan hasil yang disepakati dalam rapat kerja nasional MUI,” ungkap Kiai Niam, sapaan akrabnya, dikutip dari laman MUI Digital, Rabu, 27 Maret 2024.
Baca: MUI Larang Umat Islam Buka Puasa dan Sahur Pakai Produk Israel
10 kriteria yang ditetapkan MUI tersebut meliputi:
- Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam
- Meyakini atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i
- Meyakini turunnya wahyu sesudah Al-Qur’an
- Mengingkari otentisitas dari kebenaran Al-Qur’an
- Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasar kaidah tafsir
- Mengingkari kedudukan hadis sebagai sumber ajaran islam
- Melecehkan atau mendustakan nabi/rasul
- Mengingkari Nabi Muhammad Saw sebagai rasul terakhir
- Mengurangi atau menambah pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah
- Mengkafirkan sesama Muslim hanya karena bukan bagian dari kelompoknya
Selain itu, MUI juga telah menetapkan kriteria penetapan kafir, kriteria tidak mudah mengkafirkan seseorang, dan kriteria penodaan agama yang juga dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia.
Baca: Benarkah Islam Melarang Umatnya Banyak Bertanya?
Kiai Niam juga menjelaskan alasan mengapa keyakinan yang merupakan ranah akidah bisa menjadi bagian fatwa MUI.
“Bahwa dalam hukum Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ahkam khuluqiyyah (hukum-hukum terkait akhlak), ahkam amaliyyah (hukum-hukum terkait perbuatan), dan ahkam i’tiqadiyyah (hukum-hukum terkait akidah). Hukum-hukum ini berdiri dalam ranahnya masing-masing. Tetapi selama ini, kebanyakan fatwa MUI berada dalam posisi ahkam amaliyyah,” katanya.
“Salah satu yang menjadi tugas MUI adalah melakukan perlindungan kepada umat dari akidah yang salah dan sesat. Karenanya, dalam fatwa MUI juga membahas dan menetapkan terkait masalah-masalah akidah dan aliran keagamaan,” sambung Kiai Niam.
Dirinya mengakui bahwa akidah dan kepercayaan merupakan ranah privat yang sulit mendeteksi hukum yang dapat difatwakan. Namun, ranah ini akan menjadi bagian dari fatwa MUI jika akidah yang diyakini seseorang disebarkan dan disampaikan di ruang publik. Akidah dan keyakinan yang telah manifest, bukan lagi bergerak dalam posisi ahkam i’tiqad tetapi berubah menjadi ahkam amaliyah. Artinya, sudah dalam domain fikih yang bisa difatwakan MUI.
“Kalau dia menjadi keyakinan yang ada di dalam dada, fikih tidak bisa menjangkau, tetapi jika keyakinan ini dituliskan, diekspesikan, didakwahkan, dan kemudian disebarkan itu sudah manifest menjadi a’malul jawarih (perilaku yang jelas) yang kemudian bisa difatwakan.” jelasnya.
Selama ini, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait hukum akidah seperti fatwa mengenai Jemaat Ahmadiyyah, fatwa mengenai Gafatar, dan yang terbaru fatwa mengenai kasus Panji Gumilang.
Kiai Niam menegaskan bahwa dalam menetapkan fatwa tersebut, tentunya MUI tidak sembarangan. MUI melakukan banyak kajian dan tabayun sebelum akhirnya fatwa dikeluarkan.
“Butuh pemahaman utuh untuk memahami asas penetapan fatwa mengenai akidah dan aliran keagamaan,” imbuhnya.