Ikhbar.com: Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi menegaskan jemaah haji Indonesia yang wafat akan dibadalhajikan.
Pernyataan itu menyusul jemaah haji Indonesia bernama Suprapto Tarlim Kertowijoyo asal Demak, Jawa Tengah yang wafat di Madinah pada Kamis, 25 Mei 2023 lalu.
Dasar hukum badal haji ini tercantum dalam QS. Ali Imran: 97. Allah Swt berfirman:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا
“(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”
Dalam Tafsir Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Imam Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat tersebut menyinggung perihal orang lumpuh yang secara finansial mampu menunjuk orang lain untuk menggantikannya dalam melaksanakan haji atau biasa dikenal dengan badal haji.
Dalam keterangannya itu, Imam Al-Qurthubi kemudian menjelaskan bahwa menurut Mazhab Malikiyah, kewajiban haji telah gugur dari orang tersebut dan dia tidak perlu menunjuk badal haji untuk menggantikan atau menggugurkan hajinya.
Menurutnya, menggantikan ibadah orang lain, terlebih orang tersebut masih hidup bukanlah sesuatu yang dilegalkan. Tindakan tersebut juga tidak lantas membuat kewajiban haji gugur dari orang yang digantikan.
Sementara Imam Syafi’i mengungkapkan pendapat yang berbeda. Dia menyatakan bahwa praktik badal haji boleh dilakukan. Pendapat tersebut berlandaskan pada hadis sahih yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas:
قَالَتْ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيرًا ، لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ « نَعَمْ » . وَذَلِكَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ
“Seorang perempuan bertanya pada Nabi, ‘Kewajiban Allah telah mendatangi ayahku yang dalam keadaan amat tua. Dia tidak bisa duduk di atas tunggangannya. Apa aku boleh berhaji demi menjadi gantinya?’ Nabi menjawab: ‘Ya.’ Peristiwa itu terjadi pada Haji Wada.” (HR. Bukhari)
Baca: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 97: Kriteria Mampu dalam Berhaji
Dalam Subulu al-Salam, Imam Al-Syaukani menjelaskan hadis tersebut adalah dasar kewajiban haji dapat gugur dengan menunjuk orang untuk menggantikan berhaji.
Syaratnya, terang Imam Al-Syaukani, orang yang digantikan sudah tidak memiliki kemungkinan untuk melaksanakan haji, misalnya, sebab usia tua. Apabila masih ada harapan bisa melaksanakan haji, misalnya orang tersebut gila atau sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya, maka tidak boleh menunjuk orang lain menunaikan kewajiban hajinya.
Dalam Tafsir Al-Munir, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa mayoritas ulama meyakini legalitas badal haji. Entah orang yang digantikan sudah meninggal atau masih hidup dan tidak memiliki harapan untuk melaksanakan haji sebab sakit atau selainnya. Pendapat jumhur tersebut tidak berlaku pada kasus jika uzur menunaikan haji hilang seusai haji tuntas digantikan oleh orang lain.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyatakan, andai ada orang memiliki sakit yang tidak memiliki harapan untuk sembuh sehingga tidak bisa melaksanakan haji, lalu dia menunjuk badal haji dan berhasil menggantikan haji orang tersebut, lalu tiba-tiba orang tersebut sembuh, maka apa yang dilakukan si badal haji tersebut tidak dapat menggugurkan kewajiban orang yang gantikannya itu. Alhasil, dia harus melaksanakan haji dengan dirinya sendiri.