Ikhbar.com: Mendapatkan upah merupakan tujuan dari seorang pekerja atau buruh. Keberadaan bayaran tersebut begitu penting demi keberlangsungan produksi sekaligus terciptanya kesejahteraan.
Saking pentingnya, pemerintah turut memberikan berbagai kebijakan yang dituangkan dalam perundang-undangan.
Teknis upah pekerja sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, yang dalam Pasal 18 ayat 1 disebutkan, pengusaha wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan pekerja.
Nasihat mempekerjakan buruh
Dalam Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah (2004), Habib Nazir dan Muh. Hasan menjelaskan, transaksi antara barang dengan uang disebut dengan saman atau harga. Sedangkan jika terkait jasa dinamakan ijarah atau upah.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri.
Baca: Kisah Rasulullah Mencium Tangan Seorang Buruh
Dalam praktiknya, sering kali para buruh menerima upah yang kurang sesuai dengan apa yang telah diusahakan. Pada kasus seperti ini tentu dapat memperburuk kondisi hubungan antara pengusaha dan pekerjanya.
Pada catatan Ketenagakerjaan dalam Data edisi 4 tahun 2021, rerata upah buruh, karyawan, pegawai sebesar Rp2.860.630 per bulan. Nilai tersebut lebih kecil dari rata-rata upah buruh Februari 2020 yang sebesar Rp2.911.540/bulan.
Dengan demikian, alangkah baiknya jika jenis pekerjaan dan ringan-tidaknya pekerjaan tersebut serta ketentuan-ketentuan lain dapat disampaikan diawal agar tidak terjadi gesekan dan perselisihan di kemudian hari.
Salah satu nasihat sebelum mempekerjakan seseorang dan memberikan upah ini tertuang dalam QS. Al-Qashash: 26. Allah Swt berfirman:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Dalam ayat ini, dikisahkan bagaimana seorang gadis meminta kepada ayahnya, untuk mempekerjakannya. “Wahai ayah, ajaklah pemuda itu supaya berkenan mengurusi kambing-kambing kita. Dikarenakan pemuda tersebut, merupakan seorang yang kuat lagi terpercaya. Berikut berikanlah upah imbalan kepadanya.
Dari ucapan gadis tersebut, berdasarkan Tafsir Al-Munir karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili, bahwasanya salah seorang gadis tersebut mengkategorikan Nabi Musa As, sebagai sosok pekerja yang paling utama. Yakni, menyifati Nabi Musa As dengan dua sifat.
Pertama, kuat dalam melaksanakan perintah. Kedua, amanah dalam menjaga sesuatu.
Kemudian ayahnya pun bertanya, lantas dari mana engkau mengetahui sifat-sifat laki-laki tersebut, wahai putriku?
Sementara dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa wanita tersebut juga mengatakan, “Sesungguhnya orang yang paling yang kamu ambil untuk berkerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dipercaya.” Setelah itu muncul pertanyaan dari ayahnya, “Apakah yang mendorongmu menilainya seperti itu?”. Wanita tersebut menjawab “Sesungguhnya ia dapat mengangkat batu besar yang tidak dapat diangkat kecuali oleh 10 orang laki-laki.”
Dari kedua penafsiran tersebut, terdapat anjuran agar memberikan penjelasan terkait jenis pekerjaan terlebih dahulu sebelum mempekerjakan orang lain. Dengan adanya kejelasan kerja dan nilai manfaatnya, maka akan diketahui nilai ijarah yang akan diberikan.
Mekanisme upah
Al-Qur’an telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk tentang mekanisme memberikan upah kepada buruh. Hal itu seperti yang tersantum dalam QS. Al-Qashash: 27, Allah Swt berfirman:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَۖ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَۚ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Berkatalah dia (Syu’aib), sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberatkan kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”
Dalam Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi (2012), Azhari Akmal Tarigan menggambarkan bahwasannya kata ta’jurani dapat dimaknai sebagai “Engkau mengambil upah.” Ketika bekerja, Nabi Syuaib mengisyaratkan memberikan kontrak kepada Musa bisa delapan tahun atau bisa juga 10 tahun.
Kemudian kata wa ma uridu an asyuqqa ‘alaika menandakan tidak ada paksaan dalam bekerja. Maksudnya ialah bentuk pekerjaan dan upah tidak boleh memberatkan bagi pekerja, serta harus ada kerelaan atas apa yang diperjanjikan.
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwasannya mekanisme pengupahan harus proposional sesuai dengan nilai jasa dan manfaat atas pekerjaan yang dilakukan.