Ikhbar.com: Flexing alias kegemaran pamer merupakan satu dari sekian banyak efek negatif media sosial. Flexing tidak melulu sebatas soal kekayaan, akan tetapi bisa berupa keilmuan atau jenjang pendidikan, hingga ketaatan beribadah.
Flexing merupakan istilah lama yang kerap kali timbul-tenggelam dalam perbincangan publik. Pemaknaan flexing paling relevan diungkapkan kamus Cambridge sebagai to show that you are very proud or happy about something you have done or something you own, usually in a way that annoys people atau memamerkan sesuatu yang Anda banggakan, baik berupa pencapaian maupun sesuatu yang dimiliki. Biasanya dengan cara yang membuat orang terganggu.
Dalam beberapa kasus, perilaku flexing juga dimanfaatkan sebagai strategi marketing untuk mendatangkan keuntungan lebih besar.
Sementara menurut Islam, kekayaan dan anugerah lain yang dinikmati manusia, seperti keturunan yang baik, pendidikan yang tinggi, dan lain-lain sejatinya adalah ujian dari Allah Swt, agar tampak siapa yang bersabar dan bersyukur. Dalam QS Al-Anbiya: 35, Allah Swt berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Ahli tafsir Al-Qur’an, Profesor Muhammad Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah menjabarkan ayat itu dengan mengatakan, “Kami (Allah Swt) memperlakukan kalian sebagai orang yang diuji dengan berbagai kenikmatan dan bencana, agar nampak jelas siapa di antara kalian yang bersyukur atas kebaikan dan bersabar atas cobaan, dan siapa yang tidak bersyukur serta kecewa saat tertimpa musibah. Kalian semua akan kembali kepada Kami, lalu Kami akan memperhitungkan segala perbuatan kalian,” tulis dia, dikutip Senin, 1 Mei 2023.
Baca: Boro-boro Flexing, Begini Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz saat Menjabat Khalifah
Kekayaan dan anugerah lainnya mesti dimaknai sebagai titipan Allah Swt yang kapan pun bisa diambil kembali oleh-Nya. Oleh sebab itu, seorang manusia tak pantas memamerkan kebanggaannya untuk tujuan kesombongan.
Abu Abdullah al-Harits bin Asad al-Muhasibi dalam Al-Ri’ayah li huquq Allah mendefinisikan riya sebagai perbuatan yang mengharap pujian manusia untuk setiap perkara baik yang dilakukannya. Definisi tersebut meliputi berbagai bentuk tindakan memamerkan sesuatu yang membelokkan niat dari rasa syukur kepada Allah Swt.
Al-Muhasibi mengategorikan riya sebagai salah satu dari tiga egoisme. Dua yang lain ialah kibr (sombong atau dorongan ke arah megalomania, yakni merasa sebagai pusat realitas); dan ‘ujub (tinggi hati atau penilaian berlebihan kepada diri sendiri). Menurut dia, tiga bentuk egoisme tersebut berhubungan satu sama lain.
Tiap-tiap bentuk egoisme memiliki penawar untuk membebaskan segala tindakan dari motivasi tercela tersebut.
“Ikhlas adalah penawar bagi riya. Pada akhirnya, setiap penawar bersumber pada renungan tentang keesaan Tuhan, Al-Qur‘an, hadis, dan akal budi manusia selama ia tetap berpijak kepada wahyu Ilahi,” tulis dia.
Ikhlas didefisinikan sebagai kemurnian niat, yakni kemurnian perbuatan apapun dari seluruh perhatian lainnya selain kehendak Allah.
“Perbuatan ikhlas muncul dari suatu kesadaran yang secara total berakar kepada keesaan Allah, tanpa dicampuri oleh kesadaran apapun atas pemujaan terhadap manusia lainnya atau menyalahkan manusia lainnya,” pungkas dia.