Abu Yusuf, Ekonom Muslim Perumus Pajak Berkeadilan

Ilustrasi: Lukisan karya Alberto Rosati yang berjudul “The Carpet Merchants”. Dok OIL PAINTINGS & ART PEPRODUCTION

Ikhbar.com: Ekonomi Islam mesti dibangun di atas lima nilai universal, yakni berdasarkan prinsip ketauhidan (keimanan), adl (keadilan), nubuwah (kenabian), khilafah (pemerintah), dan ma’ad (hasil). Dari kelima nilai itu, barulah kemudian lahir tiga pilar penting dalam sistem perekonomian syariah, yaitu multiple ownership (kepemilikan multijenis), freedom to act (kebebasan bertindak atau berusaha), serta social justice (keadilan sosial).

Syekh Muhammad Sa’id Mursi dalam Uzhamaa’u al Islam Abra Arba’ah Asyra Qarnan min az Zamaan mengungkapkan, nama Abu Yusuf muncul sebagai salah satu peletak dasar tujuan perekonomian Islam tersebut. Abu Yusuf terlahir dengan nama lengkap Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khanis bin Saad Al-Anshari pada 113 H di Irak dan wafat pada 182 H di Kota Baghdad, pusat kekhalifahan Abbasiyah.

Abu Yusuf menimba ilmu dari banyak ulama di Kufah dan Madinah. Di antara ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Al-Laits bin Saad.

Selain di bidang ekonomi, Abu Yusuf dikenal memiliki pengetahuan yang luas terkait ilmu tafsir, strategi perang, penanggalan Arab, dan periwayatan hadis. Di bawah bimbingan Abu Hanifah, Abu Yusuf mencapai kesuksesan yang luar biasa.

Abu Yusuf juga merupakan sosok yang pertama kali lekat dengan sapaan sebagai qadi al-qudah (hakim agung). Tidak tanggung-tanggung, jabatan itu diembannya selama tiga periode, yakni sejak kepemimpinan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid.

Baca: Gelap-Terang Sejarah Abbasiyah

Karya dan pemikiran

Sebagai seorang hakim agung, Abu Yusuf banyak melahirkan karya-karya. Di antaranya adalah Al-Atsar yang berisi narasi dari berbagai tradisi periwayatan hadis. Selain itu, ia juga menulis Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Layla yang memuat seputar perbandingan fikih.

Abu al-Faraj Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Ishaq atau masyhur disebut Ibn Al-Nadim, dalam Al-Fihrist menyebutkan, satu karya fenomenal Abu Yusuf yang memuat tentang mekanisme pasar dalam sistem perekonomian Islam berjudul Al-Kharaj.

Mulanya, Al-Kharaj ditulis sebagai respons atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid tentang ketentuan-ketentuan Islam terkait masalah perpajakan, pengelolaan pendapatan, dan pembelanjaan publik. Namun, lewat karyanya itu, Abu Yusuf semakin memfokuskan pada keuangan publik.

Abu Yusuf melihat institusi negara sebagai sebuah mekanisme memungkinkan warga negara untuk melakukan campur tangan atas sebuah proses ekonomi. Karena, menurutnya, pengaturan tersebut akan menentukan tingkat pajak yang sesuai dan seimbang dalam upaya menghindari perekonomian negara dari ancaman resesi.

Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam pada dasarnya mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yakni produsen dan konsumen.

Jika, karena sesuatu hal, selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen menyebabkan terjadinya kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga karena penentuan itu sepenuhnya diserahkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran.

Sebaliknya, Abu Yusuf tidak sependapat dengan pemahaman yang menjelaskan bahwa bila barang yang tersedia sedikit, maka harga barang akan menjadi mahal, dan bila barang yang tersedia banyak maka harga barang akan menjadi murah. Oleh karena itu, ia menentang penguasa yang menetapkan harga, sebab, hasil panen yang melimpah bukan menjadi alasan untuk menurunkan harga dan begitu pula sebaliknya dengan kelangkaan tidak mengakibatkan harga melambung.

Pemahaman yang dianut penguasa adalah hubungan antara harga dan kuantitas, bukan hanya memperhatikan kurva permintaan. Karena, pada kenyataannya persediaan barang sedikit tidak selalu diikuti dengan kenaikan harga dan sebaliknya persediaan barang yang melimpah belum tentu membuat harga akan murah.

Dalam hal itu, Abu Yusuf menyatakan bahwa kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan sering kali stok makanan menipis tetapi tetap murah.

Mengenai peningkatan atau penurunan harga suatu barang, Abu Yusuf berpendapat hal itu tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau permintaan barang tersebut, atau penurunan atau peningkatan dalam hal produksi barang. Menurutnya, tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan karena hal tersebut ada yang mengaturnya.

Abu Yusuf mengutip hadis Rasulullah Muhammad Saw yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah. Dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut.” (HR. Abdur Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin `Utaibah).

Riwayat lain menyatakan, “Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah, serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang di antara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” (HR Sufyan bin Uyainah, dari Ayub dari Hasan).

Baca: Perpindahan Ibu Kota, Selayang Pandang Pengalaman Islam

Empat pilar

Pemikiran Abu Yusuf yang tertuang dalam Al-Kharaj setidaknya memiliki empat poin penting. Pertama, negara dan aktivitas ekonomi. Menurut Abu Yusuf, penguasa memliki tugas menjamin kesejahteraan rakyat dengan menekankan kepada pentingnya pembangunan dan pengembangan proyek infrastruktur yang diorientasikan pada kesejahteraan umum atau kenyamanan bersama. Ia juga mengatakan setiap proyek yang dibangun dalam wilayah kekusaannya haruslah menjadi tanggung jawab negara. Selanjutnya apabila suatu proyek lepas dari tanggungang negara dan hanya berorentasi terhadap keuntungan pribadi dan perusahaan, maka hal tersebut haruslah dikenakan tarif pajak yang sesuai.

Kedua, perpajakan. Sistem kharaj atau perpajakan yang diciptakan Abu Yusuf merupakan sistem pemungutan yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional setiap pelaku. Dalam sistem ini juga ditanamkan prinsip-prinsip seperti kesanggupan membayar pajak, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuat keputusan dalam administrasi pajak.

Ketiga, membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan. Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika ia mendeskripsikan income (pemasukan) negara yang meliputi ghanimah dan fai’ sebagai pemasukan yang bersifat incidental revenue, sedangkan kharaj, jizyah, ‘ushr, dan sedekah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanent revenue.

Keempat, menciptakan sistem ekonomi yang otonom. Upaya ini tampak pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah pada pengendalian dan penetapan harga. Ia berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.