Ikhbar.com: Di tengah siang terik kota Madinah, sekelompok anak-anak tampak bermain di pelataran. Mereka tertawa dan bercanda riang, suasana khas masa kecil yang belum dibebani urusan dunia. Namun, keceriaan itu seketika meredup ketika sosok Khalifah Umar bin Khattab terlihat datang dari kejauhan. Posturnya tegap, langkahnya mantap, dan wibawanya begitu kuat hingga sering membuat orang dewasa pun tertunduk di hadapannya.
Seketika, anak-anak itu pun bubar. Mereka berlarian tunggang langgang. Semuanya pergi menjauh, kecuali satu. Ia tetap berdiri di tempatnya, tidak bergeming sedikit pun.
Hingga Khalifah Umar pun menghampirinya dan bertanya, “Mengapa engkau tidak lari seperti teman-temanmu?”
Anak itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak bersalah hingga aku takut kepadamu, dan jalannya tidak sempit sehingga aku harus menyingkir darimu. Dan aku tahu bahwa engkau bukan orang zalim yang patut aku takuti.”
Sayyidina Umar tersenyum, lalu kembali bertanya, “Siapa engkau?”
“Aku, Abdullah bin Zubair,” jawabnya.
Khalifah Umar berkata, “Beginilah seharusnya keberanian pada anak-anak Zubair.”
Kisah ini dikutip dari kitab Fawāʾid wa-Nafās wa-Durar karya al-ʿAllāmah al-Ḥabīb Sālim ibn ʿAbdillāh al-Shāṭirī. Riwayat ini menyoroti keberanian seorang anak dalam situasi yang membuat orang lain memilih untuk menghindar, dan bagaimana hal itu dihargai oleh pemimpin seadil Umar bin Khattab.
Baca: Sahabat Nabi Paling Pemberani, Abu Bakar atau Ali?
Pendidikan keadilan sejak dini
Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang sangat tegas sekaligus adil. Wibawanya dikenal luas di kalangan sahabat maupun rakyat biasa. Diriwayatkan dalam berbagai sumber sahih bahwa Umar sering berpatroli malam untuk mengawasi langsung kehidupan rakyatnya, seperti disebut dalam Siyar A‘lam al-Nubalā’ karya al-Dzahabi dan Tārīkh al-Ṭabarī.
Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Mālik dalam al-Muwaṭṭa’, seorang laki-laki mengkritik keputusan Umar dalam pengadilan. Khalifah Umar tidak marah, bahkan justru bersyukur bahwa ada rakyat yang berani menyuarakan kebenaran. Ini menunjukkan bahwa Sayyidina Umar tidak hanya menanamkan keadilan, tetapi juga membangun ruang aman bagi rakyat, termasuk anak-anak, untuk berlaku jujur.
Di sisi lain, sikap Abdullah bin Zubair kecil bukanlah bentuk keberanian kosong. Ia lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang sangat dekat dengan Rasulullah Muhammad Saw. Ayahnya, Zubair bin ‘Awwām adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ibunya, Asmā’ bint Abī Bakr, adalah wanita yang membantu proses hijrah Nabi dengan mengantar logistik ke Gua Tsur.
Abdullah menjadi bayi pertama yang lahir dari kalangan Muhājirin setelah hijrah ke Madinah.
Peristiwa itu disebutkan oleh Ibn Saʿd dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā.
Dengan latar keluarga seperti itu, Abdullah tumbuh dalam suasana keteladanan iman dan keberanian. Keputusannya untuk tetap berdiri ketika anak-anak lain lari adalah cerminan dari nilai yang ditanamkan padanya sejak kecil, bukan sekadar tindakan spontan.
Baca: Negara Jangan Kalah dari Preman, Inspirasi Penegakan Hukum dalam Sejarah Islam
Keberanian anak-anak di masa sahabat
Kisah tentang keberanian Abdullah bin Zubair bukan satu-satunya yang terekam dalam sejarah Islam. Sejumlah anak-anak sahabat juga menunjukkan karakter luar biasa sejak usia dini, sebagaimana diriwayatkan dalam banyak literatur klasik.
Salah satu contoh adalah kisah Rubayyiʿ binti Muʿawwidh yang diceritakan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Ia menyampaikan bahwa anak-anak Anṣar terbiasa berpuasa pada hari ‘Āsyūrā’, dan para orang tua mereka membuatkan mainan dari wol agar mereka terhibur hingga waktu berbuka. Ini menunjukkan bahwa sejak kecil, anak-anak dilatih untuk memiliki kesabaran dan keteguhan hati.
Contoh lain adalah dari kisah anak-anak sahabat yang ikut dalam Perang Badar dan Uhud. Diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ Muslim dan Musnad Aḥmad, bahwa dua anak remaja dari Anṣār, Muʿādh dan Muʿawwidh, dengan berani menyerang Abu Jahl dan membunuhnya dalam pertempuran Badar. Usia mereka saat itu belum menginjak baligh, tetapi semangat dan keberanian mereka setara dengan para pejuang dewasa.
Semua kisah ini memperlihatkan bahwa pendidikan karakter di masa Nabi Saw dan para sahabat sangat menekankan pada nilai keberanian, kejujuran, dan keteguhan dalam bersikap. Anak-anak bukan sekadar objek pelindungan, melainkan subjek dalam proses pembentukan umat.
Baca: Para Santri di Zaman Nabi
Keteladanan yang diwariskan
Kisah Abdullah bin Zubair dan Umar bin Khattab memberi gambaran konkret tentang hasil pendidikan moral yang kuat. Seorang anak yang dibesarkan dalam keteladanan dan kejujuran tidak akan mudah goyah oleh tekanan sosial atau otoritas, selama ia yakin bahwa ia berada di jalan yang benar.
Di sisi lain, seorang pemimpin yang adil tidak mematikan keberanian, melainkan menyambutnya dengan bijaksana. Khalifah Umar tidak hanya tidak memarahi Abdullah, ia justru mengafirmasi keberaniannya sebagai hal yang layak diteladani.
Kisah ini penting untuk direnungkan, terutama dalam konteks pendidikan anak hari ini. Bukan sekadar untuk mengagumi keberanian masa lalu, tetapi sebagai cermin untuk menata ulang bagaimana nilai-nilai luhur diwariskan dan ditumbuhkan di tengah zaman.