Negara Jangan Kalah dari Preman, Inspirasi Penegakan Hukum dalam Sejarah Islam

Premanisme tidak selalu berseragam hitam dan membawa senjata. Ia bisa tampil dalam wujud kekuatan moral yang menjelma menjadi tirani.
Ilustrasi saat Syurthah dan Muhtasib sedang menjaga keamanan pasar di era kekhalifahan Islam. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Pemaknaan “premanisme” bukan sekadar mengarah pada aksi kriminalitas di jalanan. Premanisme bisa menjadi sebutan dan simbol dari kekuasaan liar, tepatnya kekuatan yang tak tunduk pada hukum, tetapi menundukkan hukum dengan kekuatan.

Dalam masyarakat modern, premanisme muncul dalam berbagai rupa, dari oknum organisasi masyarakat (ormas) yang menakut-nakuti atas nama agama, pungli di jalanan, hingga elite yang memainkan hukum demi kepentingan kelompok.

Premanisme sebagai bentuk kekerasan dan pemaksaan oleh individu atau kelompok di luar hukum seperti itu sejatinya telah mendapat perhatian serius sejak awal perkembangan masyarakat Islam. Nabi Muhammad Saw pun hadir dalam rangka membangun sistem sosial yang menjunjung keadilan dan menolak segala bentuk pelanggaran hukum yang mengancam kestabilan komunitas. Prinsip keadilan ditegakkan secara konsisten tanpa pandang status sosial pelaku.

Ketika membangun masyarakat Madinah, Rasulullah Saw tidak hanya menata spiritualitas, tapi juga mendesain sistem sosial-politik yang menjunjung supremasi hukum. Tak satu pun orang, betapa pun terpandang, diberi keistimewaan di depan aturan. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, sekaligus menjadi pagar terhadap segala bentuk penindasan yang tidak sah, termasuk premanisme.

Baca: 5 Doa Terbebas dari Ancaman Preman

Tanpa pandang bulu

Salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah Islam adalah saat seorang perempuan bangsawan dari Bani Makhzum terbukti mencuri. Keluarganya berusaha membujuk Nabi Saw agar membatalkan hukuman potong tangan karena status sosial si pelaku.

Namun, Rasulullah Saw menolak keras dan bersabda:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah apabila orang mulia mencuri, mereka biarkan. Namun, bila orang lemah mencuri, mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (HR. Muslim)

Pesan hadis tersebut sangat tegas, tidak boleh ada satu pun bentuk privilese dalam hukum. Inilah titik mula perjuangan Islam melawan kekuatan yang berusaha menekan hukum dari luar, sebuah premanisme dalam bentuk terselubung.

Prinsip-prinsip keadilan ini tak hanya hidup dalam lisan Nabi. Semangat itu juga dikukuhkan dalam kebijakan politik dan sosial.

Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang dirumuskan Rasulullah Saw setelah hijrah, memuat landasan kuat bagi penegakan hukum dan perlindungan masyarakat. Salah satu pasalnya menegaskan bahwa siapa pun yang memberi perlindungan kepada penjahat akan diputus dari perjanjian sosial komunitas Madinah.

Sejarawan Inggris W. Montgomery Watt dalam Muhammad at Medina (1956) menyebut Piagam Madinah sebagai konstitusi pertama yang secara eksplisit menolak kekerasan antarkelompok dan menegakkan keadilan kolektif. Dokumen ini bukan hanya langkah diplomasi, melainkan desain negara hukum yang menolak eksistensi kekuatan ilegal seperti premanisme.

Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam

Mengorganisir amar ma’ruf

Ketika wilayah Islam meluas, sistem keamanan diperkuat secara institusional. Khalifah Umar bin Khattab membentuk lembaga Syurthah, semacam pasukan keamanan resmi yang bertugas menjaga ketertiban umum, mengawasi pelaksanaan hukum, dan menindak pelanggaran sosial.

Dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan bahwa Syurthah bukan sekadar petugas pengamanan, melainkan bagian dari sistem legal yang menjalankan kebijakan khalifah. Mereka memiliki tugas memberantas kejahatan malam hari, menjaga pasar dari pemerasan, dan menindak segala bentuk pelanggaran terhadap hukum sipil.

Kesatuan Syurthah kemudian menjadi tembok negara dalam melindungi warga dari kekuasaan ilegal. Premanisme, dalam bentuk geng, kelompok bersenjata, hingga ormas yang memaksa kehendak, diposisikan sebagai musuh hukum.

Di samping Syurthah, sejarah Islam mengenal lembaga Hisbah. Dipimpin oleh seorang muhtasib, lembaga ini bertugas menjaga pasar, melindungi konsumen, serta menegakkan norma sosial seperti kesopanan publik, kejujuran dagang, dan keteraturan sosial. Hisbah merupakan pengejawantahan amar ma’ruf nahi munkar dalam sistem negara.

Menurut Dr. Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Fiqh al-Islami (1970), Hisbah adalah bagian dari strategi peradaban Islam untuk menutup ruang kekuasaan informal yang represif. Hisbah bukan alat penindasan, melainkan sebagai pelindung moral masyarakat dari manipulasi kekuasaan.

Hisbah menjadi benteng terakhir masyarakat dari kelompok-kelompok yang menggunakan moralitas agama untuk menindas. Sebab, premanisme tidak selalu berseragam hitam dan membawa senjata. Ia bisa tampil dalam wujud kekuatan moral yang menjelma menjadi tirani. Maka, amar ma’ruf yang sehat harus dilembagakan dan diawasi oleh negara.

Baca: Mengenal Haras, Paspampres Era Kekhalifahan Islam

Ketika premanisme menyusup ke struktur sosial

Meskipun begitu, sejujurnya, sejarah Islam pun tak steril dari konflik kekuasaan.

Pada masa transisi antara Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kelompok-kelompok milisi sering kali menggunakan agama sebagai alat pembenaran untuk melakukan kekerasan.

Di kota Kufah, Basrah, dan Baghdad, milisi sektarian muncul, mengintimidasi warga, dan kadang menguasai pasar atau wilayah tertentu.

Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam (1974) mencatat bahwa kekuasaan informal seperti ini menjadi salah satu penyebab runtuhnya ketertiban politik di masa awal Abbasiyah. Negara kehilangan kontrol, sementara rakyat terjebak antara kekuasaan resmi yang lemah dan kekuasaan liar yang brutal.

Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa absennya hukum membuka ruang bagi premanisme. Di sinilah Islam menekankan pentingnya negara yang kuat dan adil.

Premanisme, dalam bentuk apapun, adalah musuh keadilan. Ia bisa muncul dari senjata, dari ormas, dari elite, atau dari mereka yang memakai moralitas untuk memaksakan kehendak. Islam sejak awal menolak semua bentuk kekuasaan yang tidak tunduk pada hukum.

Hukum dalam Islam bukan sekadar teks. Hukum adalah pagar kehidupan. Ia menjaga martabat, melindungi hak, dan mencegah kekuatan liar merusak masyarakat.

Dari hadis Nabi hingga lembaga Syurthah dan Hisbah, dari Piagam Madinah hingga ajaran para ulama, semua mengarah pada satu prinsip, yakni kekuasaan tanpa hukum adalah bentuk tirani, dan Islam berdiri di garis terdepan untuk menolaknya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.