Ikhbar.com: Makkah kian memesona. Kehadiran ka’bah yang dibangun Nabi Ibrahim dan Ismail As menambah nilai lembah tandus dari yang sebelumnya cuma jadi tempat singgah, menjadi wilayah strategis yang kian berharga.
Selepas kedua manusia mulia itu wafat, ka’bah tetap dirawat dan menjadi daya tarik dari masa ke masa. Bahkan, terus menjadi rebutan sampai Islam datang.
Kepercayaan India dan Persia
Ibn Al Kalbi dalam Kitab al Ashnam meceritakan, dahulu, setiap orang yang melewati Makkah nyaris pasti menyempatkan diri mengambil batu atau tanah dari sekitaran ka’bah. Sepulangnya di negeri masing-masing, mereka akan tawaf mengelilingi oleh-oleh yang mereka bawa itu sebagaimana yang ia lakukan ketika di Tanah Suci.
“Hal itu merupakan bukti pengagungan, cinta, dan rindu terhadap Baitullah,” tulis Al Kalbi.
Kemasyhuran ka’bah, tidak cuma beredar di kalangan masyarakat jazirah. Di luar Arab, kabar tentang kesuciannya merangsek hingga ke sendi-sendi kepercayaan mereka.
Al Kalbi mencontohkan, masyarakat India meyakini bahwa hajar aswad yang terletak di sisi tenggara ka’bah adalah reinkarnasi ruh Siwa.
Menurut mereka, proses penjelmaan itu terjadi ketika sang dewa dan istrinya mengunjungi Hijaz.
“Mereka menyebut ka’bah dengan istilah Maksyisya, Muksyisya, atau Muksyisyana yang berarti rumah Syisya atau Syisyana. Keduanya, merupakan nama dewa yang mereka percaya,” tulis dia.
Baca: Nabi Ibrahim Melacak Ka’bah
Beda lagi dengan kaum Persia. Abu al Hasan Ali ibn al Husayn ibn Ali Al Mas’udi dalam Muruj adz Dzahab wa Ma’adin al Jauhar berkisah, bangsa Persia juga mengagungkan kakbah karena meyakini Hormuz menetap di sana.
“Hormuz, dipercaya kaum Persia sebagai salah satu anak Nabi Ibrahim As,” tulis al Mas’udi.
Kepercayaan kalangan Persia atas keluhuran ka’bah berlangsung cukup lama. Di setiap generasi, mereka mengharuskan adanya keterwakilan yang berhak mengunjungi Makkah. Al Mas’udi mencatat, orang terakhir dari mereka bernama Sasan ibn Babak.
Pesona zamzam
Bukan hanya ka’bah yang memikat perhatian. Tentu, menyumbernya air zamzam turut menyulap Makkah menjadi kota penting secara agama, politik, ekonomi, dan budaya.
Yaqut al Hamawi dalam Mu’jam al Buldan menjelaskan, muasal nama zamzam juga diambil dari banyaknya kendaraan kuda penduduk negeri seberang ketika berhaji ke Tanah Haram.
“Sumur zamzam diadopsi dari kata zamzamah, suara tegukan kuda ketika meminum air demi menghilangkan dahaga,” tulis al Hamawi.
Lantaran amat menarik orang luar, ka’bah menjadi obyek rebutan antarpenguasa. Peperangan dan penyingkiran lazim terjadi. Hal itu berlangsung sejak Nabi Ismail As tiada.
Imam ath Thabari dalam Tarikh al Umam wa al Muluk menegaskan, percekcokan kekuasaan itu baru reda ketika hak pemeliharaan ka’bah jatuh kepada sosok bernama Abdul Muthalib. Dia adalah wakil Bani Abdu Manaf yang mencetuskan sistem kepemimpinan baru melalui musyawarah pembagian kekuasaan.
“Perebutan kepemimpinan Makkah akhirnya bisa diselesaikan tanpa peperangan. Mereka lebih sepakat untuk membagi kekuasaan. Urusan penyediaan air dan pelayanan akomodasi haji diserahkan kepada Bani Abdu Manaf, sementara di bidang politik keamanan, seperti pemegang kunci ka’bah dan bendera perang diserahkan kepada Bani Abdud Dur,” tulis ath Thabari.
Abdul Muthalib ialah kakek dari Nabi Muhammad Saw. Setelah Islam datang, ka’bah dikembalikan Nabi kepada sebenar-benarnya kesucian. Tempat pengabdian, bukan penyekutuan Tuhan.