Oleh: Tsaqufah Aulya Afifah
(Mahasiswi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Semarang)
Tak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Berdasarkan data ‘Globalreligiusfuture’ penduduk Indonesia yang beragama islam pada tahun 2010 mencapai 209,12 juta jiwa atau sekitar 87 persen dari total populasi.
Awal mula Islam masuk ke Indonesia adalah dengan cara damai yang dibawa para pedagang Islam dari Persia, India, dan Arab. Mereka menyebarkan islam melalui banyak cara (metode). Salah satunya adalah metode pendidikan. Cara ini menjadi salah satu alasan mengapa pondok pesantren didirikan di Indonesia.
Asal-Usul Pondok Pesantren di Indonesia
Secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia.
Sebab cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan bisa dikatakan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, serta merombak nilai keislaman di dalamnya.
Keberadaan pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan sendirinya pada awal abad 20 masehi, dimulai sejak Islam masuk di negeri ini, dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang telah lebih dahulu berkembang, seperti sistem pendidikan Hindu atau Budha.
Menurut literatur sejarah Islam di Nusantara, pesantren sudah ada sekitar abad ke 13 yang waktu itu hanya sebatas tempat mengaji dan belajar di dalam sebuah bangunan kecil seperti gubuk. Baru beberapa abad kemudian, penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian.
Bentuk ini, kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para santri, yang kemudian disebut pesantren.
Istilah Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan untuk mengetahui dan memahami ajaran-ajaran dalam Islam. Pesantren sendiri telah berperan penting dalam proses pembangunan moral dan akhlak masyarakat, dan berperan dalam proses perubahan sosial pada masyarakat.
Di dalam pesantren juga diajarkan dasar-dasar ilmu untuk berdakwah, karena pada dasarnya berdakwah adalah kewajiban yang harus dilakukan ketika para santri sudah terjun ke masyarakat.
Di samping sebagai lembaga pendidikan khususnya agama Islam, pesantren juga berfungsi sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat.
Terbukti hingga saat ini bahwa pesantren telah berperan sebagai pelayan sosial kepada umat, atau yang sering kita kenal dengan sebutan Khodimul Ummah, antara lain pemberdayaan ekonomi, penguatan kerukunan nasional, peningkatan peran perempuan, serta pelayanan sosial lainnya.
Menurut Drs. H. Djamaluddin mengatakan, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.
Sejarah panjang berdirinya negeri ini, tidak lepas dari kontribusi pesantren dan para tokohnya dalam mengisi dan mewarnai pola kemasyarakatan yang berbasis agama dan budaya.
Pesantren sering kali menjadi anak tiri dari sebuah sistem kolonial dan tirani, di mana pesantren selalu dimarjinalkan oleh sistem-sistem pendidikan barat.
Namun hal tersebut tidak mampu membunuh eksistensi pesantren sebagai agen transformasi moral sosial religius.
Tantangan Pondok Pesantren
Meskipun Pondok Pesantren bukanlah pendidikan formal, namun peran pondok pesantren sangat berpengaruh dalam kancah keislaman di masyarakat dalam bidang keagamaan maupun sosial.
Ironisnya, saat ini minat masyarakat terhadap pendidikan pesantren semakin menurun, masyarakat lebih memilih memasukan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah modern dan terlihat lebih banyak memberikan peluang pekerjaan di masa depan nanti.
Inilah tantangan pesantren saat ini, keinginan manusia saat ini terutama di Indonesia yang masih merupakan negara berkembang adalah kesejahteraan masa depan, sedangkan pondok pesantren yang bersifat tradisionalis umumnya tidak memberikan life skill kepada santri untuk kehidupan mendatang.
Mungkin inilah salah satu penyebab minimnya minat masyarakat terhadap pesantren.
Pondok pesantren saat ini dituntut untuk mampu menciptakan inovasi baru, agar mampu bersaing dalam arus globalisasi modern. Namun bukan berarti, meninggalkan ke-khasan dari pondok pesantren, tetapi memunculkan kreasi-kreasi baru yang bisa menarik anggapan masyarakat, bahwasanya pesantren dalam tradisi pembelajarannya tidaklah bersifat kaku, melainkan dinamis dan mampu mengimbangi arus zaman modern.
Kemudian, salah satu penyebab menurunnya minat masyarakat yaitu terhadap kader pesantren saat ini adalah bila pada awalnya alumnus dari pondok pesantren bisa menjadi tokoh atau penggerak pembaharuan, namun saat ini mutu dan kualitas santri sangat menurun drastis. Hal tersebut juga di pengaruhi oleh beberapa faktor.
Tantangan Santri
Masalah mengenai santri memang menarik untuk dikupas oleh kita semua. Santri merupakan bahan wacana atau diskusi yang tidak akan pernah habis. Tidak sedikit para peneliti dari luar Indonesia datang jauh-jauh hanya untuk meneliti kiai, isi pesantren, dan isi kepala santri.
Tentu kita semua ingat, bagaimana pesantren menjadi bahan perdebatan dalam Polemik Kebudayaan antara Soetomo, Ki Hadjar, dan Sutan Takdir. Kita bisa baca dalam buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso.
Wacana pesantren atau santri selain tidak akan habis, ia pun tak akan pernah membosankan apalagi “kadaluarsa”, begitu juga dengan peran santri tak akan pernah kering dimakan zaman.
Di era millenial seperti ini, tuntutan santri bukan hanya sekedar mengaji, diperlukan santri ideal untuk menghadapi tantangan-tantangan islam di dunia masa depan dan santri yang mampu mengemban tanggungjawab besar dalam dirinya untuk meneruskan kepemimpinan para nabi dan ulama.
Memahami esensi santri yang bukan sekedar mengaji namun menciptakan sebuah aksi ketika di masyarakat tidak menjadi asing dan peran itu dirasakan.
Selain zaman telah menguji sistem pendidikan pondok pesantren, namun santri pun saat ini sedang diuji dengan berbagai hal yang menyebabkan menurunnya minat santri dalam belajar.
Pengaruh tersebut di antaranya arus globalisasi, oksidentalisasi, dan paham hedonisme. Pengaruh kuat globalisasi semakin mendorong para santri akan ketergantungan terhadap media masa.
Pengkajian terhadap kitab kuning menurun drastis, kini semuanya teralihkan terhadap TV, internet, gadget, dan situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, IG, path, dan lain sebagainya.
Oksidentalisasi atau kebarat-baratan, pengaruh ini telah merambat ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk dunia pesantrem. Gaya barat yang dinilai lebih maju dari pada gaya Islam, menyebabkan banyak santri yang terjerembab masuk ke dalamnya.
Banyak santri yang lebih mengidolakan tokoh-tokoh barat yang populeritasnya tinggi dan melupakan panutan mutlak Rasulullah saw, yang seharusnya menjadi ciri khas karakter seorang santri.
Hedonisme yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan, serta merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. Sehingga banyak yang mulai terlena dengan sifat duniawi, akhirnya mulai muncul gaya hidup yang berlebih-lebihan.
Paparan di atas jika kita lihat secara real, merupakan faktor yang menjadikan mutu dan kualitas santri semakin menurun di era modern ini.
Oleh sebab itu, inilah tantangan yang harus di lumpuhkan oleh seluruh santri, agar penjiwaan terhadap makna dari santri itu sendiri dapat terpatri dengan baik dalam pribadi seorang santri.
Ancaman Santri dalam Dunia Teknologi
Di zaman sekarang, di saat teknologi berkembang pesat, seorang santri harus bisa melakukan perubahan-perubahan dan memiliki kemampuan beradaptasi.
Tidak berhenti di situ, santri dituntut memiliki intelektual yang luas. Menjadi seorang santri di samping menekuni kajian keagamaan, juga harus melengkapi diri dengan pengetahuan umum. Jika santri hanya mengandalkan ilmu ad-din (ilmu agama), akan sulit untuk bersaing di era globalisasi.
Era globalisasi lebih berkiblat kepada kehidupan barat, sangat bertolak belakang dengan kehidupan di kalangan pesantren yang fokus garapannya di bidang spiritual. Itulah yang menjadi tugas dan tantangan santri dalam menjalani kehidupan berbangsa dan ber-negara di masa mendatang.
Dewasa ini teknologi informasi sudah menjadi kebutuhan hampir semua kalangan masyarakat. Dengan melek teknologi informasi, ke depan pondok pesantren bisa melahirkan SDM yang unggul baik dari sisi spritualitas maupun teknologi sehingga mampu menjawab tantangan global budaya dan ekonomi.
Hasil Studi Penelitian dari Wearesocial tahun 2018 menunjukkan bahwa total pertumbuhan pengguna internet mencapai 143,26 juta jiwa.
Tentu angka yang menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang sangat mengandalkan dunia maya. Bahkan studi dari Wearesocial.com pada tahun 2018 dalam laporannya mengatakan bahwa orang indonesia rata-rata cenderung menggunakan internet selama 8 jam 51 menit. Artinya banyak video menarik di youtube sehingga menarik minat masyarakat untuk menggunakannya. Karena dengan internet, kita bisa melihat segala informasi yang ada di dunia saat ini.
Kita sedang memasuki era baru, era di mana orang lebih dekat dengan dunia maya dibanding dengan dunia nyata. Pergeseran era lama yang mengawali era baru yang lebih kita kenal sebagai Era Industri 4.0. Era transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi informasi dengan industri konvensional. Itulah kenapa internet sangat besar sekali efeknya di masyarakat. Mau tidak mau, kita sudah menjadi bagian dari era Industri 4.0 ini.
Salah satu agenda strategis yakni pemanfaatan teknologi digital yang begitu masif untuk memacu produktivitas. Salah satunya adalah produktivitas akan hal konten-konten bernafaskan religi atau agama.
Informasi keagamaan baru-baru ini menjadi salah satu konten media sosial yang banyak dicari oleh masyarakat digital ditengah meningkatnya semangat keislaman di Indonesia. Bahkan di kalangan pendakwah, berdakwah lewat media sosial saat ini tengah menjadi salah satu metode paling ampuh.
Pada tahun 2018, data menunjukkan, menurut studi Wearesocial.com, bahwa salah satu platform media sosial di urutan pertama yang diakses masyarakat adalah youtube.com, salah satunya, konten-konten video bertemakan dakwah Islam senantiasa menghiasi dunia maya setiap hari.
Di Indonesia sendiri, salah satu Pusat Kajian dan Literasi Keislaman adalah pondok pesantren. Pondok pesantren sebagai ruh atau pionir posisi peletak dasar pendidikan Islam di Indonesia.
Pondok pesantren sebagai penyebar ajaran kedamaian Islam yang damai dan sejuk di bumi Indonesia, harusnya juga terus mengikuti perkembangan zaman dalam koridor tatanan yang tepat.
Tanggung Jawab santri dalam penguasaan teknologi di kalangan masyarakat
Dengan perkembangan era digital saat ini, para santri harus mampu menjadi agen perubahan yang strategis dalam membangun bangsa dan perekonomian Indonesia di masa mendatang.
Untuk itu, santri harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, baik agama maupun ilmu umum lainnya. Mereka yang mayoritas generasi milenial, juga perlu menguasai teknologi terkini.
Pada titik ini peran pesantren diharapkan hadir menjadi poros penengah di tengah masyarakat.
Pesantren dituntut untuk mengikuti trend zaman terutama di bidang teknologi. Sehingga salah satu jalan perjuangan pesantren yaitu metode “dakwah” bisa diaplikasikan melalui media digital.
Terlebih dengan mengangkat khazanah Keislaman khas Indonesia yang kental akan budaya dari Sabang hingga Merauke, tentu pesantren secara tidak langsung ikut berperan mencetak generasi muda yang memiliki sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran) dalam beragama. Ketiganya ini merupakan prinsip jalan tengah yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai ummatan wasathan dan bentuk ummat yang juga digambarkan oleh al-Qur’an sebagai khaira ummah (masyarakat yang baik).
Dari sini, secara tidak langsung mendukung konsep “Moderasi dalam Beragama” di Indonesia. Gagasan ini adalah sebuah tawaran kepada masyarakat awam khususnya mereka yang ingin sekali memahami Islam di Indonesia.
Karena beberapa tahun terakhir, kondisi religiusitas kita menunjukkan bahwa keagamaan di Indonesia tidak bisa lepas dari isu yang mengatasnamakan “Identitas”. Apalagi Isu-isu Radikalisasi sangat dekat sekali dengan Islam dengan mangatasnamakan “Gerakan Pemurnian Islam.”
Menurut Jon W. Anderson, dakwah lewat media juga menjadi ajang pembentukan dan perebutan ruang publik berbagai kelompok Islam dalam menjalankan agenda masing-masing (Jon W. Anderson: 2003).
Kasus Bom baru-baru ini di Surabaya harusnya perlu menjadi pelajaran yang berharga bagi kita. Mereka hadir seolah-olah menjadi yang paling benar dalam menafsirkan Islam. Padahal pemahaman Islam tidak hanya berkutat pada al-Qur’an dan Sunnah secara harfiah, tapi perlu difahami lebih dalam sehingga ada metode turunan al-Qur’an dan Sunnah yang memang harus dipelajari agar tidak terjebak dalam dimensi peng-kotakan diri yang akhirnya timbul merasa paling benar sendiri.
Masyarakat perlu memahami prinsip dalam Islam yang lebih mengedepankan Wasathiyah penuh dengan toleransi, tidak terjebak ekstremitas, mengambil jalan tengah, moderasi, dan cenderung menyelesaikan masalah dengan musyawarah. Inilah sejatinya salah satu poin penting yang mendasari kenapa dakwah wasathiyah urgen untuk digalakkan khususnya di dunia maya
Ketika pendidikan agama di pondok pesantren menjadi hal yang penting di dunia saat ini, maka mengikuti trend teknologi informasi juga menjadi tidak kalah pentingnya untuk menjawab tantangan zaman.
Pada akhirnya, di era Industri 4.0 ini kita mau ambil bagian atau hanya sebagai penonton saja dalam mendukung semangat dakwah wasathiyah di Indonesia?