“Tradisi” dan “Modernitas” merupakan dua istilah yang saling berlawanan dalam segi bahasa dan istilah.
Sekalipun dikaitkan dengan kata “Al-Qur’an” yang notabennya sakral, dua hal tersebut tetap terjadi pembenturan dan dampaknya tentu akan menimbulkan keresahan umat Islam dan kebingungan akan peraturan mana yang sekiranya lebih layak untuk mereka patuhi.
Tak jarang, mereka dibuat juga bertanya-tanya, apakah benar tidak ada titik temu diantara keduanya?
Respon Masyarakat Terhadap Tradisi dan Modernitas
Al-Qur’an bukanlah serpihan-serpihan kecil tradisi dan modernitas yang saling menafikan, tetapi al-Qur’an merupakan bangunan yang dikonstruksi dari keduanya.
Dalam memandang tradisi dan modernitas, umat islam merespon dengan 3 bentuk sikap. Kategori pertama yaitu, mereka yang berpandangan bahwa tidak perlu adanya perubahan (pemahaman) terhadap apa yang sudah ada 14 abad sebelumnya dan menganggap bahwa modernisasi merupakan sebuah pukulan yang dapat mematikan keotentikan pemahaman Islam itu sendiri.
Kategori kedua yaitu, mereka yang beranggapan bahwa bersikap oposisi terhadap perubahan merupakan hal yang tidak bijaksana dan kontraproduktif, apalagi dalam hal ini umat Islam merupakan salah satu peserta yang ikut aktif dalam dunia modern.
Kelompok ini mereprentasikan Islam dengan cara yang sesuai dengan orang yang hidup di zaman modern, tetapi mereka juga memberi batasan untuk tidak bertindak terlalu jauh yang dapat mengubah secara signifikan ide-ide tradisional yang dimiliki Islam.
Sementara kategori ketiga yaitu, mereka yang ingin menampikan kembali Islam dengan mempertanyakan aspek-aspek kunci dan tradisi, mengabaikan apa yang tidak relevan dengan periode modern, sambil menekankan apa yan relevan dan berusaha untuk tetap setia pada etos, tujuan, dan nilai-nilai al-Qur’an yang tidak berubah.
Titik Temu Antara Tradisi dan Modernitas Al-Qur’an
Jika kita mengambil titik temu dia ntara ke duanya, sebenarnya antara tradisional dan modernitas al-Qur’an itu saling berkesinambungan.
Al-Qur’an adalah wahyu yang turun kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril. Pada periode pertama, al-Qur’an berupa suara dan ucapan-ucapan lisan yang didengar. Kemudian beberapa sahabat ada yang menuliskannya di pelepah-pelepah kurma, batu dan lain sebagainya.
Selanjutnya, tulisan-tulisan al-Qur’an tadi dikumpulkan dan dikodifikasi sepeninggal Rasulullah saw, yang diprakarsai oleh Abu Bakar atas usulan dari Umar yang melihat banyaknya hafizh al-Qur’an yang meninggal didalam peperangan Yamamah.
Setelah lembaran-lembaran tadi terkumpul, ia menjadi sebuah mushaf yang disimpan oleh Abu Bakar yang selanjutnya tugas pengkodifikasian ini diteruskan oleh Usman.
Akhirnya umat Islam pun memiliki satu mushaf bersama yang dikenal sebagai mushaf Usmani yang terjaga sampai saat ini.
Dengan berkembangnya teknologi percetakan, masuklah transformasi al-Qur’an kepada tahap yang baru, yakni tahap penyebarluasan.
Mushaf al-Qur’an dicetak sedemikian rupa yang kemudian dijual-belikan sehingga setiap orang bisa memilikinya.
Setelah berjalannya waktu, teknologi terus berkembang pesat, mushaf al-Qur’an yang tadinya berupa hard file ditulis di mushaf-mushaf dan kertas-kertas, ditransformasikan ke dalam bentuk digital. Ada yang berbentuk perangkat lunak komputer, bahkan ada pula yang menjadi perangkat lunak ponsel pintar.
Inilah bukti bahwa hasil dari modernitas seperti perkembangan sains dan teknologi seakan tak pernah ada habisnya menghiasi kehidupan kita saat ini.
Perubahan yang signifikan ini tentu memberi pengaruh yang sangat besar dalam menjaga sakralitas dari al-Qur’an itu sendiri. Dengan adanya perkembangan teknologi, al-Qur’an yang biasanya hanya didengar melalui suara imam dari masjid, guru, TPA, sekarang bisa didengar melalui audio berupa murottal. Bahkan al-Qur’an dijadikan sebuah nada dering alarm maupun telepon.
Dalam hal ini ada sebuah pertanyaan, bagaimana jika seseorang sedang buang hajat, dan nada dering berupa al-Qur’an berbunyi? Apakah merusak ke-sakralan al-Qur’an?
Menurut Sayyid Al Maliki, sebenarnya penggunaan nada dering memakai ayat al-Qur’an tidak diperkenankan karena bisa menimbulakan unsur IIhanah (penghinaan) pada al-Qur’an. Belum lagi bila yang memakai nada dering tersebut tidak tahu cara pemenggalan ayat yang benar saat mengangkat telpon atay menerima SMS (Karena seperti nada dering ayat kursi, tidak mungkin toh kita selesaikan satu ayat lengkap kemudian baru terima telp) atau dikhawatirkan juga terjadi hal seperti pertanyaan di atas.
Dari gambaran tersebut, penulis berasumsi bahwa sebagian muslim masih belum bisa menerima modernitas tersebut dengan alasan khawatir akan merusak sistem normativitas dan kesakralan al-Qur’an atau alasan lainnya, sehingga mereka lebih memilih bertahan pada tradisi pemahaman ulama klasik.
Namun, tidak sedikit juga umat muslim yang sadar akan modernitas dan merasa perlu memahami al-Qur’an dengan konteks modern saat ini.
Munculnya penafsiran modern merupakan sebuah gerakan untuk melawan kejumudan dan keterbelakangan dari tafsir-tafsir klasik masa lampau.
Berangkat dari kenyataan sejarah yang menyatakan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan derap langkah perkembangan peradaban dan budaya manusia.
Tafsir sebuah hasil dari dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis memang mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan.
Setiap generasi akan mewarisi kebudayaan generasi-generasi sebelumnya, kebutuhan suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi lain.
Begitu pula perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat di katakan sama keperluan dan kebutuhannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya, serta saling tukar-menukar pengalaman yang di alami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah yang lain, mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa membutuhkan pula.
Demikian pula halnya dengan al-Qur’an, ia berkembang mengikuti irama perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi.
Persoalan-persoalan modern inilah yang meniscayakan adanya perubahan pola pikir (shifting paradigm). Salah satu contoh mungkin kita bisa melihat tafsir-tafsir klasik ketika memahami ayat-ayat kealaman (kauniyah).
Penafsiran tentang kilat dan petir misalnya pada surah Al-Baqarah:19-20, di mana beberapa ulama klasik menafsirkan kilat dan petir sebagai cambuk malaikat. Bagaimana mungkin penafsiran seperti ini dapat diterima oleh masyarakat modern yang telah dipenuhi dengan rasionalitas dan teknologi yang kian canggih.
Perkembangan sains dan teknologi tentu menuntut ayat-ayat seperti ini agar dijelaskan dengan penjelasan yang lebih rasional, dan jika perlu dibuktikan dengan pembuktian yang ilmiah.
Ambil misal, dalam kasus Indonesia sendiri, bagi pencuri (baik laki-laki maupun perempuan) akan diberi hukuman penjara, sementara dalam tradisi Islam yang tertera dalam nash al-Qur’an, hukuman bagi pencuri ialah potong tangan (QS. Al-Maidah: 38).
Di sini terjadi perbenturan antara tradisi dan modernitas, dan dampaknya tentu akan menimbulkan keresahan umat Islam dan kebingungan akan peraturan mana yang sekiranya lebih layak untuk mereka patuhi.
Begitupun persoalan-persoalan manusia modern yang semakin kompleks yang ditandai dengan munculnya fenomena-fenomena baru yang tidak pernah dijumpai sebelumnya. Sebut saja fenomena bayi tabung, kloning, bank ASI, bank sperma, operasiplastik dan berbagai fenomena lainnya. Kasus-kasus seperti ini juga tentu tidak mungkin dihindari, melainkan perlu dicarikan jawabannya melalui pemahamanal-Qur’an.
Apakah tradisi pemahaman al-Qur’an klasik mampu merespon tantangan-tantangan modernitas?
Sedikit gambaran di atas mungkin dapat menjawab pertanyaan apakah tradisi pemahaman al-Qur’an klasik mampu merespon tantangan-tantangan modernitas tersebut?
Kehidupan manusia akan selalu dihiasi oleh modernitas, dan tidak menutup kemungkinan akan selalu berkembang dan kompleks.
Al-Qur’an mengarahkan manusia agar mengembangkan Sains untuk mengetahui sifat dan tingkah laku alam sekitarnya pada kondisi tertentu, dan dengan penguasaan Sains ini manusia dapat membuat kondisi yang sedemikian rupa hingga alam bereaksi, yang mengarahkan pada hasil menguntungkannya, manusia menciptakan teknologi.
Maka dari itu, dalam memahami al-Qur’an tentu kita perlu menggunakan pendekatan dan teori-teori modern agar memperoleh jawaban yang relevan. Namun, di samping itu, kita juga tidak bisa meninggalkan tradisi-tradisi yang telahdigagas oleh ulama klasik, terlebih jika tradisi tersebut baik dan masih bisa dipertahankan.
Kita perlu mempertahankan tradisi-tradisi klasik yang baik, karena pada dasarnya modernitas tidak akan selalu menunjukkan kesempurnaannya.
Inilah yang dikenal dengan konsep Al-Muḥāfazah ‘Alā al-Qadīm as-ṣalih wa al-Akhẓubi al-Jadīd al-Aṣlaḥ, merawat tradisi yang baik dan menerima pembaharuan yang lebih baik.
Dengan Sains dan Teknologilah manusia memanfaatkan serta melestarikan alam sekelilingnya, mencari ketetapan hukum alam yang dibuat oleh Allah, dengan ini manusia bisa berkomuniskasi dengan Tuhannya melalui pamahaman terhadap sunah-sunah alam semesta. Maka sudah seharusnyalah kaum muslimin mendekatkan diri dengan al-Qur’an kalau hendak menguasai bumi ini.
Penulis: Tsaqifa Aulya Afifah (Mahasiswi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Semarang)