Banyak orang mengenal bahwa dunia Barat adalah dunia yang paling maju dan modern. Bangsa-bangsa Barat selalu selangkah lebih unggul ke depan daripada bangsa-bangsa yang lainnya. Entah itu dari segi Pendidikan, teknologi, maupun kesejahteraannya. Dari merekalah lahir para ilmuwan, para peneliti, para cendekiawan, dan psikolog.
Di balik 1000 kelebihan yang dimiliki Barat, terdapat satu titik gelap yang mungkin menyelimuti mereka. Titik gelap itu adalah spiritual (agama). Dalam sebuah ungkapan yang dipaparkan oleh Al-Ghazali, beliau mengatakan, “Agama dan akal itu bagaikan cahaya dan mata.”
Sudah tak diragukan lagi kemampuan akal yang dimiliki oleh bangsa Barat dengan IQ di atas rata-rata. Namun, bagaimana dengan agamanya? Mereka ibarat seperti orang yang berjalan di dalam kegelapan, tak ada secerca cahaya yang menyinari perjalanan mereka, hingga mereka pun tersesat.
Begitulah peran agama, cahaya tak akan berguna bila dilihat dengan mata tertutup, sebaliknya mata tanpa cahaya hanya akan menimbulkan kesesatan.
Akibatnya, para psikolog yang dilahirkan bangsa Barat belum mengakui keberadaan agama sebagai obat penyakit mental. Mereka menganggap bahwa agama berbeda dengan pengetahuan. Tidak ada yang membuat mereka saling bersinergi dan berhubungan. Inilah pemikiran-pemikiran sekuler, di mana mereka tidak percaya bahwa agama dapat masuk ke dalam urusan Pendidikan, Kesehatan, politik, dan sebagainya.
Para psikolog mengkaji kesehatan mental hanya dari sisi psikologi, yaitu dengan memperhatikan dimensi biologis dan sosialnya saja, selebihnya mereka mengabaikan dimensi spiritual. Hal ini mengakibatkan pemahaman kepribadian seseorang menjadi kurang sempurna.
Efek langsung pemisahan manusia dengan agama adalah seseorang mengalami ketidakstabilan emosi spiritual dan psikologi. Padahal, untuk mendapatkan kesehatan secara mental perlu mendapatkan ketenangan secara batin.
Agama dalam hal ini menyebutnya dengan istilah Nafsul Muthmainnah. Maka dari itu dibutuhkan keseimbangan dari sisi psikologi ketika berbicara Kesehatan mental dan sisi spiritual (agama) ketika berbicara Nafsul Muthmainnah sehingga terwujud Kesehatan mental yang religious.
Kesehatan mental menurut pakar Psikologi mengemukakan, orang yang memiliki kesehatan mental berarti ia terhindar dari gangguan mental dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sedangkan teori psikologi tentang kesehatan mental, yaitu mendeskripsikan kepribadian seseorang untuk dijadikan norma dalam menggambarkan sifat individu agar bisa menilai baik buruknya seseorang.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi kesehatan mental itu sendiri, yaitu emosional, spiritual, dan sosial.
- Emosional: Seseorang dikatakan sehat secara mental apabila tercipta keharmonisan fungsi-fungsi jiwa, sehingga sanggup menghadapi problem kehidupan. Apabila kehidupannya yang penuh problem diiringi dengan emosional yang tinggi dan tidak stabil, maka perpecahan lah yang akan terjadi.
- Spiritual (agama): seseorang yang berkeyakinan agama lebih tinggi mampu menjelaskan peristiwa kehidupan, sehingga membuat hidup mereka lebih bermakna.
- Sosial: Kesehatan mental adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
Agama berbicara tentang Nafsu Muthmainnah.
Banyak sekali desus-desus bermunculan yang membicarakan bahwa agama membenci dan menolak nafsu. Padahal, dalam konteks agama, nafsu merupakan suatu anugrah dan hiasan pribadi yang unik. Apabila ia tidak dijaga, maka akan tercela, dan mengotori pribadi seseorang.
Dalam membicarakan nafsu, agama membaginya dalam 3 kategori :
- Nafsul lawwamah: nafsu pada tingkatan ini masih labil, kadangkala ia taat dan kadang kala ia maksiat. Ia masih belum bisa istiqomah dalam jalan yang lurus.
- Nafsul Amarrah Bissu: inilah nafsu pada tingkatan yang paling jelek, dirinya dikuasi penuh oleh syahwat.
- Nafsul Muthmainnah: Nafsu yang tunduk pada ruh/akal, jiwa nya tenang menerima kabar gembira maupun menakutkan, karena ia telah mencapai ketentraman dan yakin kepada Tuhan.
Tiga macam nafsu tersebut saling berinteraksi dan beradu untuk memperebutkan wilayah kekuasaan pada diri manusia. Apabila manusia mampu menyeimbangkan iman dan perasaan dengan 2 sayap yaitu sabar dan syukur, makai a telah sampai pada kesehatan mental yang paripurna. Karena mental yang sehat adalah integrasinya jiwa yang muthaminnah, jiwa yang rodhiyah (meridhoi), dan jiwa yang mardhiyyah (jiwa yang diridhoi). Sampai ia mendapatkan tempat yang haqiqi yaitu surga. Hal ini telah dijelaskan dalam surah Al-Fajr ayat 27-30 mengenai Nafs Muthmainnah.
Kesehatan mental yang Religius
Sebagai makhluk yang diberi akal untuk berpikir, manusia tidak pernah puas dengan adanya kebenaran ilmiah. Banyak dari mereka yang menggunakan jalan supra rasional untuk menemukan kebenaran yang menurutnya “hakiki”.
Lain halnya dengan seseorang yang telah sampai kepada kebenaran ilahiyah, maka ia tidak lagi tergoda untuk mencari kebenaran yang lain. Selama manusia masih memikirkan ciptaan Allah SWT dengan segala peraturan-peraturannya, maka hatinya tidak mungkin tentram.
Namun jika ia telah sampai pada memikirkan Sang Pencipta dengan segala keagungannya, maka manusia sudah tidak lagi memikirkan yang lain. Inilah puncak dari ketenangan hakiki yang akan berdampak pada Kesehatan mental.
Karena pada hakikatnya, jika kita mampu berkeyakinan tinggi pada Allah, segala kecemasan dan ketakutan berubah menjadi ketenangan. Ketentraman hati merupakan pokok Kesehatan jasmani dan rohani. Dalam pandangan islam, itulah yang disebut Nafsul Muthmainnah, namun dalam pandangan psikologi, itulah yang disebut sebagai Kesehatan mental. Maka, terbentuklah istilah Kesehatan Mental yang Religius, yaitu Kesehatan jiwa yang pripurna.
Jadi berdasarkan uraian di atas, Kesehatan mental yang religius adalah terwujudnya keserasian antara fungsi-fungsi kejiwaan dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan secara dinamis berdasarkan agama sebagai pedoman.
*Penulis: Tsaqifah Aulya Afifah