Oleh: Ustaz Agung Firmansyah (Direktur Ikhbar.com)
KURBAN sejatinya bukan seremoni tahunan belaka. Ia adalah peristiwa spiritual yang sangat dalam, ibadah taqarrub, sebuah jalan pendekatan kepada Allah Swt melalui kepedulian sosial.
Inti kurban adalah keberlanjutan empati. Bukan hanya memberi daging sehari, tapi menciptakan sistem sosial yang adil, agar tidak ada orang lapar hari ini, besok, dan lusa.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari agar orang yang mampu dapat membantu orang yang membutuhkan. (Sekarang) makanlah sesuai keinginan kalian dan berilah orang lain makan, serta simpanlah (sebagian lainnya).” (HR. Tirmizi)
Hadis tersebut menegaskan bahwa distribusi daging hanyalah bagian dari sistem ketahanan pangan berbasis kepedulian.
Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan, Allah Swt berfirman, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini seolah menggugat tradisi kurban yang hanya berhenti pada prosesi fisik, tanpa diiringi kesadaran sosial dan spiritual yang menyeluruh.
Baca: Solusi Al-Qur’an agar Distribusi Daging Kurban Tepat Sasaran
Kurban yang kehilangan arah
Hari ini, kurban lebih mirip festival daging, dihiasi gemerlap foto sapi jumbo, video penyembelihan dari berbagai sudut, dan kemeriahan media sosial (medsos). Penyembelihan hewan bukan lagi soal solidaritas kepada duafa, tapi menjadi arena pertunjukan siapa paling besar sapinya, siapa paling dulu motongnya, siapa paling ramai distribusinya.
Padahal, kurban adalah warisan nilai profetik Nabi Ibrahim As dan Nabi Muhammad Saw. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (HR. Tirmizi)
Hadis ini bukan sekadar anjuran menyembelih, melainkan ajakan untuk menyadari bahwa setiap tetes darah itu adalah ikrar kesungguhan, bukan euforia sesaat. Maka, ketika niat dan pelaksanaannya berubah menjadi ajang sosial kapital, bukan lagi spiritual kapital, yang tersisa hanyalah darah tanpa ruh.
Baca: Ringkasan Fikih Kurban
Jaring pengaman sosial
Kurban tidak pernah diniatkan sebagai pemuas selera sesaat. Ia harus diposisikan sebagai mekanisme distribusi keadilan pangan.
Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah menekankan bahwa kurban, meski sunah muakkad, memiliki “dimensi sosial yang melekat kuat pada prinsip maqasid al-syari‘ah,” yakni pemeliharaan jiwa dengan jalan mewujudkan kesejahteraan umat.
Namun, ironi terjadi tiap tahun, satu hari rakyat miskin bergembira dengan sekantung daging, lalu 364 hari berikutnya mereka kembali menjerit dalam kelaparan. Kurban menjadi obat penghilang rasa bersalah kolektif, bukan solusi jangka panjang atas kemiskinan struktural.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan bahwa lebih dari 8,57% atau sekitar 24 juta masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dengan pengeluaran makanan yang terbatas bahkan untuk kebutuhan protein hewani.
Jika kurban hanya menjadi ritual tahunan tanpa strategi pemberdayaan, maka ia tak ubahnya seperti menyiram tanaman sekali lalu membiarkannya layu tanpa disiram lagi. Justru yang lebih sering terjadi adalah antrean panjang, rebutan kupon, hingga daging yang terbuang atau membusuk karena distribusi tak merata.
Kurban bukan pesta. Ia adalah kritik diam atas ketimpangan. Ia mengingatkan bahwa setiap potong daging itu adalah amanat bagi kesejahteraan.
Jika kurban masih membuat sebagian orang kelaparan sehari setelahnya, berarti kita belum sungguh-sungguh memaknai pengorbanan Nabi Ibrahim. Jika ketimpangan ekonomi tetap dibiarkan atas nama tradisi, barangkali yang kita sembelih selama ini bukan hanya hewan, tapi juga nurani. Wallahu a’lam bis-shawab.[]