Pelajar Muslim Anti-Overthinking

Photo by Laura Chouette on Unsplash

Oleh: Sumarni (STAI Syubbanul Wathon Magelang, Jawa Tengah) 

PELAJAR muslim adalah istilah yang sudah sangat familiar di telinga kita. Istilah yang dilabelkan bagi mereka pencari ilmu, khususnya ilmu agama. Menjadi pelajar muslim bukan hal yang mudah sebab banyak tugas yang harus diemban. Di satu sisi kewajiban mencari ilmu yang tak dapat diabaikan, di sisi lain juga kewajiban sebagai seorang muslim harus menjadi prioritas.

Kedua tugas tersebut harus berjalan seiring dan seirama, seiya dan sekata, dengan kata lain dibutuhkan manajemen waktu yang proporsional sehingga kedua-duanya bisa terlaksana dengan baik. Kesalahan dalam me-manage waktu akan berimbas pada kuantitas dan kualitas ilmu yang dipelajari. Sehingga tak jarang ditemui pelajar yang mempunyai gangguan kesehatan mental, overthingking, overconvidence, kekhawatiran yang berlebihan, bahkan nahasnya lagi sampai pada tingkat depresi akut.

Contoh kecil kejadian beberapa bulan yang lalu, seorang santriwati yang berinisial N di sebuah pondok pesantren di daerah Malang nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena mengalami depresi. Dikatakan bahwa setelah korban bunuh diri, ditemukan surat-surat yang berisi tentang permintaan maaf kepada orang tuanya. Dalam kasus ini, kita bisa menyimpulkan bahwa korban tersebut memilki orang tua yang mempunyai harapan besar kepadanya, sehingga sebisa mungkin anak tersebut ingin mewujudkan impian orangtuanya. Usaha maksimal telah dia tempuh, sehingga munculah pengharapan besar dilubuk hati yang paling dalam.

Akan tetapi pikiran acak sering kali menimpa seseorang, seperti halnya memikirkan hal-hal yang esok akan terjadi. Apakah dia akan berhasil mecapai impian orangtuanya? Akankah yang dia usahakan selama ini akan mebuahkan hasil yang memuaskan? Atau bahkan berfikiran akan suramnya masa depan yang akan dia hadapi. Terlalu larut dalam memikirkan sesuatu hanyalah membuang-buang waktu, pikiran dan juga tenaga. Sehingga bukan perubahan yang akan dia dapat, tapi yang ada hanyalah kekhawatiran yang akan selalu menghantui.

Sebagai seorang yang beriman tidak seharusnya memikirkan hal-hal masih misteri bagi dirinya. Sebagaimana salah satu dari rukun iman yaitu iman kepada qadha’ dan qadar. Rukun iman tersebut secara tidak langsung mengajari kita untuk selalu yakin bahwa Allah SWT akan selalu memberikan yang terbaik bagi kita, tugas kita sebagai manusia hanyalah berusaha dan hasilnya pasrahkan kepada Allah, karena yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 216;

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Al-Sa’adi menyebutkan dalam kitab Tafsir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Manan. Ayat ini mengandung makna bahwa sesuatu yang tidak kita sukai belum tentu tidak baik. Pada satu titik seperti halnya jihad, hal yang jarang sekali manusia menyukai padahal di dalamanya mengandung sejuta kebaikan. Sebaliknya sesuatu yang disukai seperti berleha-leha, bisa jadi menyimpan segudang madharat.

Langkah menghindari overthinking

Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan seseorang untuk mengatasi overthinking adalah;

Pertama, menyadari bahwa kemampuan kita itu terbatas dan kita harus bisa membatasi pemikiran kita. Manusia memang dikaruniai oleh allah sebuah fundamental yang paling sempurnya yaitu akal. Namun akal tersebut diciptakan dalam keterbatasan, jadi akal tidak boleh digunakan secara berlebihan. Bukan hanya akal yang diciptakan oleh Allah untuk fundamental manusia, bahkan Allah menciptakan hati sebagai teman pembantu akal agar bisa berjalan dengan beriringan.

Seperti halnya analogi akal dan hati menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Kimiya’ as-Sa’adah yaitu jiwa (nafs) itu bagaikan sebuah kota. Hati adalah rajanya, syahwat adalah wali kotanya, akal adalah panglimanya, kekuatan marah adalah polisinya. Hati sebagai raja menasehati kerajaan, sehingga menjadi tenang.  Hati harus terus menerus menasehati, karena walikotanya adalah syahwat, dan kekuatan marah menjadi polisi kotanya. Jika hati berhenti menasehati maka hancurlah kota tersebut.

Hati sebagai raja harus berdiskusi dengan panglima (akal) dan menjadikan wali kota (syahwat) serta polisi (amarah) bisa terkendali oleh panglima (akal). Jika hal itu terjadi maka kotanya tenang dan Bahagia. Setiap perangkat memiliki peran masing-masing. Apabila salah satunya tidak berperan dengan baik, maka akan mengakibatkan ketidakstabilan pada jasad.

Kedua, berusaha semaksimal mungkin dan memasrahkan usaha tersebut kepada Allah.  Ketika kita memaksimalkan apa yang kita usahakan tanpa kita berfikiran andai aku begini dan begitu maka itu akan membuat kita lebih percaya diri. Tapi ingat percaya diri boleh tapi berharap terlalu berlebihan juga tidak baik. Karena semua yang telah kita usahakan semestinya dipasrahkan kepada Allah agar Allah yang memutuskan mana yang lebih baik untuk kita.

Ketiga, luangkan waktumu untuk bercinta kepada Rabb-mu. Bagaimana usahamu akan diijabah oleh Allah, sedangkan kamu sendiri tidak mau mendekat kepadanya.  Seperti halnya orang yang memiliki kekasih tapi tidak mau mendekat kepada kekasihnya, padahal sepasang kekasih seharusnya saling menjalin kasih, kalau keromatisan selalu ada maka kemungkinan kecil permintaan dari salah satunya tidak diberikan. Maka ciptakanlah keromantisan itu dengan terus berdzikir kepada allah, menjalankan perintahnya serta menjauhi laranganya.

Terus membiarkan overthinking larut dalam diri kita, hanya akan membuang-buang waktu dan membuat kita menjadi pesimis. Karena eksistensi bukan hanya keberhasilan, tetapi nikmatnya penghambaan dan badan yang sehat serta kesempatan bersama orang yang kita cintai itulah yang paling utama. Karena keberhasilan tanpa disertai dengan hal tersebut akan terasa seperti di ruang hampa.

Jadilah pelajar muslim yang terus optimis dengan terus belajar, usaha serta menjadi hamba yang selalu menjaga keromantisan kepada Rabb-nya.