Oleh: Siti Nur Azizah (Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
DEWASA ini, isu mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki menjadi perbincangan yang sering dibahas dalam diskusi-diskusi yang dilakukan oleh beberapa kalangan akademisi. Hal ini wajar terjadi karena gaungnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 yang telah dilaksanakan di Pondok Pesantren Hasyim Asyari, Bangsri, Jepara pada 24-26 November lalu semakin santer dibahas di mana-mana.
Perjuangan tentang penegakkan hak-hak perempuan yang dilakukan oleh KUPI ini membawa angin segar bagi para perempuan, khususnya mereka yang menjadi penyintas dari ketidakadilan sistem patriarki.
Dahulu, para perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak berguna dan menjadi sumber fitnah. Bahkan pada zaman jahiliyah, perempuan dianggap sebagai pembawa sial. Anggapan tersebut tentunya sangat salah karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang ada.
Ketika Islam datang sekitar lima belas abad yang lalu, belenggu-belenggu yang merendahkan martabat perempuan mulai dilepaskan. Perempuan pada masa itu mulai diangkat eksistensinya dan Islam memanusiakan mereka sebagaimana mestinya. Namun euforia kebebasan itu tak berlangsung lama. Tafsir-tafsir Islam dalam memandang perempuan nyatanya berjalan dinamis. Jika kita mempercayai bahwa Islam hadir untuk memanusiakan perempuan pada masa lalu, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah tafsir kita atas Islam juga memanusiakan perempuan pada masa sekarang?
Faktanya, masih banyak terjadi pelanggaraan di hampir seluruh dunia yang merendahkan martabat perempuan sebagai manusia. Salah satu kasus yang cukup miris adalah perempuan yang dibunuh dengan alasan karena membuat kehormatan keluarga menjadi tercemar. Kasus seperti ini umum terjadi di daerah Asia Tengah dan dalihnya adalah menggunakan legitimasi pandangan agama dan budaya. Mirisnya, dalam beberapa kasus, praktik tersebut mengatasnamakan Islam. Padahal, Islam tidak pernah sekalipun melegalkan perbuatan tersebut.
Suatu saat, Ummu Salamah Ra. mendengar seruan Nabi Muhammad saw. dari dalam masjid, “Wahai manusia, berkumpullah.” Ia pun bergegas hendak memenuhi seruan tersebut. Tetapi, pelayannya mencoba mencegah, “Yang dipanggil itu laki-laki, bukan perempuan.” Ummu Salamah menimpali, “Yang dipanggil itu manusia. Aku, kan manusia.”
(Shahih Muslim, No. 6.114)
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah, jika perempuan dibunuh karena dianggap telah mencemarkan kehormatan keluarga, bukankah laki-laki juga berpotensi melakukan hal yang serupa? Lalu apa hukuman bagi laki-laki? Bagaimana menciptakan sistem sosial yang memanusiakan perempuan seperti memanusiakan laki-laki? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang cukup pelik dan sulit dicari jawabannya. Namun jika kita berkaca bahwa esensi manusia itu sama, tentulah hal mudah untuk mencari jalan tengah dari problemtik tersebut.
Sejatinya, antara perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam segala bidang. Jika laki-laki boleh memimpin, perempuan juga diperbolehkan. Jika pendapat laki-laki didengar, maka perempuan pun demikian. Tidak ada perbedaan antara keduanya karena di mata Tuhan sama, keculai nilai ketakwaan yang mereka perbuat. Karena perempuan dan laki-laki adalah manusia utuh yang memiliki akal budi sebagai manusia, yang berkembang untuk melakukan potensi kebaikan atau sebaliknya dalam berinteraksi di tengah masyarakat.