Oleh: Tsaqifa Aulya Afifah
Mahasiswi Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pada kontestasi politik tahun 2019, sejumlah narasi hoaks kerap kali beterbangan di jagat media sosial. Sejumlah narasi hoaks itu bahkan nyaris memecah belah keutuhan bangsa.
Hoaks sendiri berati berita palsu atau berita bohong. Ia mempunyai arti informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, maupun April Mop.
Adapun sasaran empuk dari penyebarluasan berita hoaks, ujaran kebencian, tawaran pornograafi, dan lain sebagainya yakni menyasar ke generasi millenial.
Pernyataan ini bukan tanpa dasar, sebagai bagian dari generasi millenial yang identik dengan digitalisasi yang masyarakatnya sehari-hari menggunakan internet untuk memantau dunia luar, risiko generasi millenial terpapar berbagai informasi hoaks memang paling besar.
“Generasi millenial adalah yang paling rentan terhadap bahaya hoaks. Sangat disayangkan jika Indonesia yang harusnya bisa menikmati bonus demografi di 2030 nanti, malah diisi oleh orang-orang yang tidak cerdas dalam bermedia sosial.” Kata Septiaji yang di muat dalam Kemkominfo.
Penyebaran Hoaks
Dunia maya kita sedang dilanda penyakit hati. Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi. Hoaks, desas-desus, fitnah, dan hujatan bersahut-sahutan nyaris tiada henti. Informasi sumir yang sudah usang datang silih berganti.
Penyakit ini kini mewabah nyaris tak bertepi. Menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, pada akhir 2016 terdapat sedikitnya 800 situs yang diduga menjadi produsen virus hoaks berita palsu, dan ujaran benci.
Saat ini, pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat. Terlebih penyampaian informasi begitu cepat dimana setiap orang bisa dengan mudahnya memproduksi dan mengonsumsi informasi.
Informasi-informasi tersebut biasanya beredar cepat melalui sosial media seperti WA, facebook, instagram, dan twitter yang tidak dapat difilter dengan baik. Ketika berita hoaks tersebut sudah beredar di sosial media, virus itu akan langsung menyerang otak mengoyak nalar seseorang.
Bila terpapar virus tersebut, setidaknya orang akan mengalami skizofrenia informasi yang berujung lunturnya nurani, hilangnya kebijaksanaan akal dan keluhuran budi.
Selain itu, ditegaskannya berita hoaks pun akan menimbulkan opini negatif, fitnah, penyebar kebencian yang diterima dan menyerang pihak ataupun membuat orang menjadi takut, terancam dan dapat merugikan pihak yang diberitakan. Sehingga dapat merusak reputasi dan menimbulkan kerugian materi maupun yang lainnya.
Dampak negatif Hoaks
Saat ini berita hoaks sudah dibuat sedemikian rupa menyerupai berita asli, dilengkapi dengan data-data yang seolah-olah itu adalah fakta. Kemunculan berita hoaks ini disebabkan adanya pihak-pihak yang ingin membuat situasi menjadi kacau dan mengambil keuntungan dari sana.
Padahal, jika mereka semua tahu, hoaks mempunyai dampak negatif yang dapat ditimbulkan, yaitu hoaks sebagai pembuang-buang waktu, pengalihan isu, penipuan publik dan pemicu kepanikan sosial.
Pembuang-Buang Waktu
Dengan melihat hoaks di sosial media bisa mengakibatkan kerugian bagi individu itu sendiri. Hal ini dikarenakan hoaks tersebut mengakibatkan efek mengejutkan sehingga sangat berpengaruh terhadap produktivitas individu tersebut.
Dengan penurunan produktifitas tersebut, maka apa yang dihasilkan semakin berkurang sedikit demi sedikit. Bahkan dalam jumlah yang besar.
Pengalihan Isu
Di media sosial, para penjahat internet atau biasa disebut dengan cyber crime memanfaatkan hoaks sebagai pelancar aksi kejahatan mereka di sosial media.
Penipuan Publik
Jenis penipuan ini biasanya bertujuan untuk menarik simpati masyarakat yang percaya dengan hoaks tersebut. Lalu, ketika dianjurkan untuk menyumbangkan sejumlah uang dan anehnya ada saja yang mau menyumbangkannya tanpa mau berpikir lebih dalam apakah berita tersebut benar atau tidak. Banyak orang yang akhirnya tertipu dengan hoax tersebut.
Salah satu contoh kasusnya adalah berita pembukaan pendaftaran CPNS Nasional melalui pesan-pesan yang dikirimkan lewat WA.
Pemicu Kepanikan Publik
Biasanya hoaks yang satu ini memuat berita yang merangsang kepanikan khalayak publik, dan beritanya berisi mengenai tindak kekerasan atau suatu musibah tertentu.
Salah satu contohnya adalah hoaks tentang hilangnya pesawat Garuda Indonesia tujuan Jakarta-Palu. Berita hoaks ini cepat viral di kalangan masyarakay yang menyebabkan keresahan publik seketika itu juga.
Penanganan Hoaks
Namun, disamping itu, berita hoaks dapat dikendalikan penyebarannya. Penanganan berita hoaks dapat dilakukan sebelum berita itu viral di kalangan masyarakat.
Literasi adalah jawabannya
Masyarakat perlu diperkenalkan dengan budaya literasi agar teliti dan hati-hati ketika membaca sebuah berita. Karena masyarakat yang tingkat literasinya rendah, merupakan tempat yang sempurna bagi perkembangan berita-berita hoaks.
Penelitian The World’s Most Literate Nations (WMLN) menempatkan Indonesia pada urutan 60 dari 600 negara yang di survei mengenai tingkat literasinya.
Budaya literasi erat dengan kebiasaan membaca. Kaitannya dengan hoaks literasi tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca informasi di media online.
Dengan rajin membaca maka seseorang makin bertambah wawasannya, makin terbuka terhadap hal-hal baru, serta menjadi teliti dalam menyikapi berita apapun.
Oleh karenanya, ‘Literasi Media’ yang sesungguhnya adalah perspektif yang dapat digunakan ketika berhubungan dengan media agar dapat menginterpretasikan suatu pesan yang disampaikan oleh si pembuat berita dengan bijak dan cerdas. Ini merupakan suatu bentuk sikap pengertian untuk mempelajari, memahami, dan menyaring berita yang patut sehingga kita tahu mana berita yang benar dan mana berita yang fitnah atau hoaks.
Literasi juga merupakan cara bijak menyikapi berita hoaks baik di kehidupan nyata maupun maya. Budaya literasi perlu ditanamkan di masyarakat mulai dari lingkup yang terkecil terlebih dahulu. Yaitu dari lingkup keluarga.
Setiap individu perlu memiliki pertahanan yang kuat agar tidak mudah menjadi korban maupun pelaku penyebar hoaks. Kesadaran pribadi untuk rajin membaca harus ditanamkan dalam diri kita masing-masing.
Jarang membaca mengakibatkan kita miskin informasi sehingga sulit memilah-milah informasi mana yang hoax dan yang bukan. Sebaliknya, ketika seseorang terbiasa membaca maka akan lebih mudah baginya untuk mengenali hoaks.
Gerakan literasi harus ditegakkan dan digalakkan kembali di kalangan masyarakat. Karena gerakan literasi bukan hanya milik pemerintah saja, namun seluruh komponen masyarakat di Indonesia, terutama Pers Nasional. Dimana salah satu tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena sudah selayaknya kemajuan teknologi informasi juga harus diimbangi dengan kemajuan budaya literasi.
Maka dari itu, gunakan sosial media sesuai fungsi asalnya. Open your mind, stop share to hoax, and unity be saved! Salam anti hoaks!