Oleh: Iin Sholihin (Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan MIS Sarang Rembang)
SESEORANG teman pernah bercerita, akhir-akhir ini sering berseliweran di beranda platform media sosialnya ceramah tentang salah satu tanda kesalehan seseorang adalah jidatnya hitam. Mereka berpandangan bahwa jidat hitam merupakan ekspresi nyata seseorang sering sujud atau rajin salat. Pendapatnya tersebut berpatokan pada QS Al-Fath ayat 29.
Tidak sedikit orang mengetahui secara komprehensif makna ayat tersebut. Akibatnya, mereka kurang tepat dalam memaknai ayat itu. Namun lucunya, pemahaman yang keliru itu dianggap sebagai pendapat paling benar.
Bahkan, mereka menganggap seorang kiai atau ulama yang jidatnya tidak hitam tidak termasuk ulama yang saleh. Mereka berpandangan jidatnya tidak hitam, tandanya jarang sujud. Padahal, pemahaman demikian tentu saja keliru.
Fenomena bekas hitam di dahi (jidat hitam) atau atsar al-sujud memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat di Indonesia, terutama di kalangan umat Islam. Ia tidak hanya termasuk dalam fenomena sosial keagamaan, tetapi juga termasuk fenomena sosial-politik.
Sebenarnya, fenomena ini sudah ada sejak masa Islam awal, tetapi semakin mencuat ke permukaan seiring dengan munculnya beberapa fraksi umat Islam dalam konstelasi sosio politik keagamaan di Indonesia pasca reformasi. Pada era sebelumnya, kelompok ini tidak bisa mengungkapkan aspirasi politik keagamaannya secara leluasa karena tekanan rezim Orde Baru.
Pasca tumbangnya Orde Baru tumbang dan memasuki era reformasi, kelompok ini semakin gencar menyuarakan aspirasi
politik-keagamaannya. Bahkan sebagiannya berhasil mendirikan partai politik yang masih bertahan hingga sekarang.
Ragam tafsir QS Al-Fath ayat 29
Frasa atsar al-sujud dalam QS. Al-Fatḥ ayat 29 terdiri dari dua kata, yaitu atsar dan sujud yang tersusun dalam tarkib idafi.
Dalam kamus Lisan al-Arab dijelaskan, kata atsar merupakan kata benda bentuk tunggal yang berasal dari akar kata a-tsar, yang bentuk jamaknya adalah atsaar.
Menurut Aḥmad Ibnu Faris, atsar bermakna mendahulukan sesuatu, penyebutan sesuatu, dan tanda atau bekas sesuatu yang tersisa. Sedangkan menurut Ibn Manẓur, atsar bermakna sisa sesuatu, sisa dari bekas sesuatu, dan kabar.
Kata kedua adalah kata sujud. Ia merupakan kata benda yang berasal dari akar kata sajada.
Secara leksikal, menurut Ibn Faris, kata sajada bermakna ketenteraman dan ketundukan. Sedangkan menurut Ibn
Sidah sebagaimana dikutip oleh Ibn Manẓur, kata sajada yasjudu sujud bermakna meletakkan dahi di atas tanah.
Sementara menurut Abu Bakar kata sajada bermakna membungkukkan diri dan
menenteramkan diri di atas tanah. Ia juga bisa bermakna tunduk.
Imam Muhammad bin Ahmad As-Showi dalam tafsirnya menjelaskan, tanda bekas sujud bukanlah seperti anggapan orang bodoh yang suka riya atau memamerkan ibadah. Perilaku ini merupakan kebiasaan orang khawarij.
Sedangkan Imam Khatib As-Syirbini dalam Tafsir Sirojul Munir menjelaskan maksud frase atsar al-sujud. Dalam penjabarannya itu, ia mengutip pendapat Imam al-Baghowi yang menyebutkan tanda-tanda orang riya adalah bekas sujud di jidat. Tanda itu sesungguhnya adalah perilaku Khawarij.
Berdasarkan makna leksikal dan penggunaannya dalam Al-Quran, kata
atsar mengandung makna bekas, tanda atau sisa sesuatu yang bersifat mulia. Sedangkan kata sujud mengandung makna sikap tunduk, tawaduk, dan khusyuk yang bersifat keagamaan dan bisa menentramkan diri.
Jadi frasa atsar al-sujud dalam QS Al-Fath ayat 29 identik dengan bekas atau tanda
kemuliaan berupa ketundukan, ketawadukan, serta kekhusyukan yang terkait dengan ritual keagamaan dan menenteramkan hati.
Wallahu A’lam….