Assalamualaikum. Wr. Wb
Ning Uswah dan Ikhbar.com, perkenalkan nama saya Vera Oktavia dari Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Saya ingin bertanya, apakah setelah menyandang status suami/istri satu sama lain masih punya batas-batas privasi? Dalam kacamata fikih, adakah hak bagi istri untuk secara rutin memeriksa, misalnya, isi percakapan dalam HP (ponsel) suami. Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Baca: Beda Pilihan Capres dengan Pasangan? Fanatik Buta Jangan Rusak Rumah Tangga
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb
Kak Vera Oktavia yang baik di Jakarta Timur. Setelah menyandang status suami/istri dalam ikatan pernikahan, maka keduanya tidak hanya menyatu secara biologis, melainkan juga melebur dalam ikatan jiwa. Karenanya, tujuan perkawinan adalah sakinah (ketenangan jiwa) berasaskan relasi suami-istri yang mawaddah wa rahmah (penuh cinta kasih).
Untuk mewujudkan tujuan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah dibutuhkan kepercayaan antar-kedua belah pihak, termasuk dalam menghormati privasi pasangan.
Dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Syekh Wahbah Az-Zuhayli menegaskan:
التراضي أساس في عقد الزواج
“Sikap saling rida merupakan asas dalam ikatan perkawinan.”
Ada dua jenis privasi yang perlu diperhatikan dalam membangun rumah tangga, yakni keinginan untuk menjauh dari pihak lain dan kontrol informasi.
Setiap pasangan cenderung memiliki keinginan untuk menjauh dari pihak lain, tidak ingin tinggal di perkampungan dengan komunitas masyarakat yang tidak seideologi, tidak ingin serumah dengan orang tua ataupun mertua dan saudara ipar karena khawatir tidak bisa saling memahami. Kontrol diri terhadap informasi juga dibutuhkan untuk kenyamanan pribadi.
Dalan kondisi seperti itu, antar-pasangan harus bisa saling berkomitmen tentang batasan-batasan privasi. Bila perlu, pasangan dapat mengomunikasikan dengan baik tentang apa yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Misalkan suami atau istri bersepakat untuk tidak mengumbar masa lalu di depan pasangannya karena khawatir memunculkan rasa trauma, menimbulkan gangguan psikologis, serta menyebabkan keretakan rumah tangga. Atau pasangan suami-istri sepakat mempunyai batasan untuk tidak mengecek ponsel masing-masing disebabkan tingkat kecemburuan setiap orang relatif berbeda. Intinya, jangan sampai dengan alasan privasi, salah satu pasangan melakukan maksiat dan hal-hal yang dilarang Allah Swt, baik berupa perselingkuhan, perzinahan, dan sejenisnya.
Hal ini tentu berbeda dengan interaksi yang dilandasi dengan prinsip-prinsip kejujuran atau lebih dikenal dengan keterbukaan. Misalkan, prinsip komunikasi untuk mengecek apakah suami/istri mendapatkan kenyamanan di ruang-ruang publik? Bagaimana pemasukan dan pengeluaran finansial dalam rumah tangga? Atau pun demi memperlancar semangat saling berbagi dalam visi-misi membangun rumah tangga, cara mengasuh anak, dan lain sebagainya.
Namun, persoalanya, tanpa disadari, seiring berjalannya suatu hubungan, terkadang kepentingan menjaga privasi itu dikesampingkan dan menjadi kian samar.
Selain menjaga privasi masing-masing, Rasulullah Muhammad Saw mengimbau pasangan suami-istri agar mampu menjaga privasi internal keluarganya. Artinya, kedua belah pihak harus sama-sama melindungi ‘dapur’ rumah tangganya.
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ مِنْ أشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ القِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلى امْرَأَتِهِ أَوْ تُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرَّ صَاحِبِهِ
“Seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang memperhatikan istrinya, dan sebaliknya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Hadis tersebut bisa dimaknai bahwa laki-laki yang suka menembus privasi istrinya, lalu menyebarkannya, maka ia berhak mendapatkan predikat “seburuk-buruk manusia.” Hal itu, tentu berlaku sebaliknya. Setiap istri/perempuan yang suka mencari dan meneliti privasi suami lalu menyebarkan aibnya berisiko menerima status serupa.
Tujuan pernikahan adalah menjalankan ibadah dan ketakwaan penuh kepada Allah Swt. Pernikahan juga harus dimaknai sebagai peredam kemaksiatan, menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan, serta menutup kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan kezaliman. Intinya, suami/istri harus berani melawan dan menyetop setiap godaan dalam pernikahan yang berpotensi melanggar mitsaqan ghalidza (ikatan yang kokoh) di hadapan Allah Swt.
Baca: Hukum Memilih ‘Jomblo’ dan Menunda Pernikahan bagi Perempuan
Ketika muncul niat melakukan chat (obrolan) yang berpotensi berujung pada perselingkuhan, maka takutlah akan keberadaan Allah Swt. Meskipun, misalnya, hal itu tidak akan dicek/diketahui oleh suami atau istri. Ketika seseorang sudah menanamkan iman dengan kuat di dalam hatinya, maka ia akan selalu berperasaan “inni akhaafullah,” sesungguhnya aku takut kepada Allah Swt. Perasaan itu akan muncul ketika suami/istri hendak tergoda untuk melakukan segala perbuatan yang berpotensi pada kemaksiatan. Wallahu a’lam.
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.