Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan Ikhbar.com, perkenalkan, saya Rahayu Puspita dari Tangerang, Banten.
Memasuki tahun politik, sebenarnya saya punya rasa trauma. Sebab pada 2019 lalu, keluarga saya dan keluarga suami sempat cekcok karena punya pilihan calon presiden (capres) berbeda. Bahkan suami dan saya pun sempat turut bertengkar karena pilihan yang juga berbeda.
Ning Uswah, mohon tips dan juga nasihat agar di pemilihan presiden (pilpres) kali ini rumah tangga kami tetap baik-baik saja tanpa terganggu urusan pemilu dan hal-hal sejenisnya. Terima kasih.
Baca: Hukum Terima Uang dari Caleg atau Tim Sukses Capres menurut Fikih
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb
Kak Rahayu Puspita dari Tangerang, Banten. Tujuan dari pernikahan adalah mendapatkan sakinah (ketenteraman), mawadah (cinta), serta rahmah (kasih sayang) antara kedua pasangan atau suami-istri dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Hidup damai berdampingan dengan orang yang awalnya asing, lalu membersamai kita di setiap waktu dalam ikatan pernikahan memang membutuhkan proses yang terus-menerus untuk menuju pendewasaan seiring berjalannya pernikahan.
Pernikahan yang awalnya dilandasi oleh cinta kasih tidak selamanya subur karena jika dibiarkan mengering dan akhirnya tandus. Maka, kasih sayang itu juga perlu disirami dan dipupuk selalu.
Agama telah menetapkan untuk senantiasa memperlakukan secara bermartabat antara suami dan istri dan bersikap obyektif apabila salah satu pasangan memiliki karakter buruk dengan cara bersabar dan melihat kebaikan-kebaikannya yang lain. Allah Swt berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan pergaulilah mereka secara baik. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu. Sementara Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19).
Persoalan perbedaan dalam rumah tangga pasti datang silih berganti, baik dari eksternal maupun internal keluarga. Masalah internal keluarga bisa saja tentang perbedaan pendapat dalam urusan financial, tugas domestik dan publik, parenting, prinsip, dan ideologi, termasuk perbedaan politik. Apalagi sebentar lagi kita memasuki tahun politik. Semua memiliki penilaian terbaik terhadap tiap-tiap pilihan politiknya.
Setiap manusia dianugerahi al-Istiqlal al-Syakhsyi (kemandirian pribadi dalam menentukan pilihan-pilihan hidup), serta al-Istiqlal al-Siyasah (kemandirian dalam hal berpolitik). Namun, agama telah mengajarkan agar ummatnya tidak terlalu fanatik berlebihan terhadap pilihan-pilihannya.
Fanatik yang diperbolehkan hanya terletak pada hal-hal yang pokok, seperti ketauhidan atau keyakinan terhadap Allah Swt, berusaha keras dalam menolak kebatilan, dan lain-lain. Bukan fanatik terhadap hal yang furu’ atau cabang seperti terhadap fikih salah satu mazhab saja, atau fanatik berlebihan yang disertai dengan merendahkan pilihan orang lain. Sebab fanatik berlebihan yang disertai kecenderungan berbuat zalim merupakan akar dari timbulnya segala permasalahan.
Allah Swt berfirman:
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى …
”…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Maidah: 8)
Pilihan terhadap calon anggota legislatif (caleg), partai politik, dan calon presiden memang sudah di depan mata, tetapi apakah keluarga boleh dikorbankan hanya demi pilihannya semata? Padahal kita dilarang menjunjung tinggi tokoh, terkecuali dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran yang ada dalam sosok tersebut. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan saja” (HR. Muslim).
Baca: Koalisi Politik dalam Sejarah Nabi
Selain itu, fanatik berlebihan juga merupakan tradisi jahiliyah. Rasulullah Saw bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ وَفِي
”Hendaklah kaum-kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka yang telah meninggal berhenti dari perbuatannya. Sesungguhnya mereka (nenek moyang tersebut) hanya arang neraka Jahanam. Atau (kalau mereka (kaum-kaum itu) tidak berhenti) mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari seekor kelabang hitam mengendus kotoran manusia dengan hidungnya, Sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian seruan Jahiliyyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. (yang ada) Hanyalah orang mukmin yang bertakwa dan orang fajir (pendosa) yang celaka. Manusia semuanya adalah anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. (HR. Imam Tirmidzi)
Ketika perbedaan politik muncul di dalam keluarga, terlebih di tengah hubungan antara suami dan istri, maka cobalah redam terlebih dahulu perasaan fanatik tersebut, dan hal ini dimulai dari diri sendiri. Pasalnya, dakwah terbaik bukan dengan menasihati orang lain, tetapi melalui uswatun hasanah (percontohan baik dari diri sendiri).
Hubungan antara suami dan istri adalah “libas” atau laksana pakaian (hunna libasun lakum, wa antum libasun lahun, QS. Al-Baqarah: 187). Ketika suami menampakkan aib dengan perbuatan ta’ashub (fanatik), maka tugas istri adalah menutupinya. Dan ketika istri juga berbuat demikian, maka tugas suami menutupi pula dengan “libasut taqwa” atau pakaian ketakutan terhadap Allah. Yakni, takut tidak bisa menjaga amanah pernikahan atau takut menimbulkan kemadlaratan dalam keluarga sehingga lalai terhadap tujuan awal pernikahan, yakni mempertahankan sakinah, mawadah, serta rahmah dalam keluarga.
Alhasil, jangan sampai presiden dan wakilnya sudah duduk manis di tampuk kekuasaan, tetapi kita yang malah menelan pahit karena kehilangan pasangan tercinta. ‘Iyadzu billahi min dzalik.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.