Ikhbar.com: Ulama kharismatik, Dr. KH Husein Muhammad menjelaskan makna Idulfitri dan fungsinya sebagai bahan permenungan bagi manusia.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Arjawinangun, Cirebon itu menyebutkan, bahwa secara literal, Idulfitri bermakna kembali ke fitrah. Yakni, kembalinya manusia pada kondisi awal saat dilahirkan.
“Menjadi manusia yang bersih, suci, tanpa noda dan dosa. Ini karena selama satu bulan mereka dididik dalam madrasah Ramadan untuk berproses menjadi bersih dari dosa,” terang Buya Husein, sapaan akrabnya, kepada Ikhbar.com, Ahad, 16 April 2023.
Tetapi, lanjut Buya Husein, ada pandangan lain yang memaknai bahwa Idulfitri sebagai kembalinya manusia kepada kondisi awal saat pertama diciptakan.
Buya Husein menyebutkan bahwa ada sebuah hadis berbunyi:
كل مولود يولد على الفطرة بمعنى أن الله خلق الناس وفطرهم على الإسلام، فكل مولود يولد خاليا عن دواعي الضلالة، فلو ترك كل مولود وشأنه لهدته فطرته إلى أن للكون ربا مدبرا واحدا أحدا .
“Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah. Yaitu bahwa Allah menciptakan manusia dan menjadikannya menerima dan pasrah kepada Allah. Jadi, setiap yang dilahirkan berada dalam keadaan bersih dari hal-hal yang menyimpang dari sikap tersebut. Andai kata pun dia meninggalkan kondisi tersesat, jiwa aslinya akan membimbingnya ke arah pengakuan bahwa semesta ini diciptakan oleh Tuhan Yang Esa.”
“Dengan kata lain makna kembali kepada fitrah ialah kembalinya manusia kepada kondisi primordialnya, sebagai eksistensi ciptaan dan hamba Allah yang pasrah kepada-Nya,” kata Buya Husein.
Dalam QS. Al-A’raf: 173, Allah Swt berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
“Demikianlah. Maka Idulfitri secara genuine bermakna kembalinya manusia kepada komitmen Awal. Yakni bertauhid, mengesakan Tuhan,” jelas Buya Husein.
Konsekuensi bertauhid
Lantas, penulis banyak buku bertema keislaman, sufisme, dan keadilan jender itu mengatakan bahwa konsekuensi dari komitmen tauhid tersebut harus menjadikan hanya Allah-lah satu-satunya eksistensi Yang Paling Besar, Paling Kuasa, Paling Mulia, Paling Pengasih dan Penyayang.
“Keyakinan ini membawa keharusan bagi kita untuk memandang dan memperlakukan sebagai setara atau sama. Tak seorang pun boleh merendahkan dan menghina orang lain. Manusia tidak boleh menjadi hamba dari selain Allah dan hanya untuk mencintai-Nya, tidak untuk mencintai selain Dia,” pesan Buya Husein.
Menurut Buya Husein, hal tersebut tentu saja bermakna bahwa manusia, baik laki-laki dan perempuan adalah hamba Allah dalam posisi yang setara. Tidak ada keunggulan satu atas yang lain kecuali tingkat kesetiaan kepada Allah yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut Takwa.
“Sesungguhnya manusia yang paling terhormat di mata Allah adalah orang yang paling bertakwa,” kata Buya Husein, menyitir penggalan QS. Al-Hujurat: 13.
Buya Husein menjelaskan, pemahaman tersebut membawa implikasi serius, bahwa menghormati atau memuliakan siapa pun sama dengan menghormati milik Allah. “Sebaliknya merendahkan atau bahkan melakukan kekerasan terhadap siapa pun hanya karena identitas jenis kelaminnya merupakan pelanggaran terhadap milik Tuhan,” sambungnya.
Timbal balik
Buya Husein pun menukil ungkapan Syeikh Syamsi Tabrizi dalam Qawa’id al-Isyq al-Arba’un (40 kaidah Cinta) berikut:
لقد خلق هذا العالم على مبدأ التبادل، فكل امرئ يكافأ على كل ذرة خير يفعلها، ويعاقب على كل ذرة شر يفعلها.
“Alam semesta dibangun di atas landasan prinsip hubungan timbal-balik dan kesalingan. Tak ada setitik kebaikan atau setitik keburukan pun yang tak berbalas setimpal.”
“Pernyataan tersebut bermakna siapa yang memberi akan diberi, siapa yang mencinta akan dicintai, siapa yang membenci akan dibenci, dan apapun yang kita lakukan akan kembali kepada kita. Ini sesungguhnya hukum keadilan,” pungkas Buya Husein.