Pandangan Islam terhadap Pelaku Pidana Anak

Penampilan AG saat mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (30/3/2023). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

Ikhbar.com: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan akan menghormati putusan hakim yang telah menjatuhkan pidana selama tiga tahun enam bulan kepada AG (15), anak berkonflik dengan hukum dalam perkara penganiayaan berat terhadap Cristalino David Ozora (17). Mereka meminta Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), tempat AG menjalani masa pidananya, untuk memberikan perhatian pada kepentingan pelaku pidana anak.

Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Nahar menilai vonis tersebut sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Khususnya, Pasal 61 Ayat (1) yang menyatakan bahwa pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak.

”Kami menghormati putusan hakim terhadap anak berkonflik dengan hukum, AG. Sidang pembacaan putusan yang tidak hanya putusannya yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, tetapi juga tidak menghadirkan langsung anak yang berkonflik dengan hukum dalam persidangan,” ujar dia, Senin, 10 April 2023.

Ihwal pidana anak

UU SPPA memberikan amanat bahwa seorang anak pelaku pidana harus mendapatkan perlakuan dan penanganan berbeda dari pelaku dewasa.

Anak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana jika sudah berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun. Hal itu sesuai dengan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA.

Batas usia anak ini lebih tinggi dari aturan sebelumnya, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang menetapkan usia minimal delapan tahun hingga belum mencapai 18 tahun.

Di samping itu, dalam penanganan perkara anak disarankan pula penerapan restorative justice alias keadlilan restoratif melalui diversi.

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara dengan tujuan mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Sementara itu, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pada Pasal 6 UU SPPA dijelaskan bahwa penggunaan diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Namun demikian, diversi hanya dapat diterapkan jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun, serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Dalam penjelasan lanjutannya diterangkan bahwa hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orangtua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama tiga bulan, dan pelayanan masyarakat.

Selain itu, penyelesaian dengan diversi tersebut harus didahului persetujuan pihak korban dan anak yang berkonflik dengan hukum, kecuali pada tindak pidana pelanggaran, ringan, tanpa korban, atau nilai kerugian kurang dari upah minimum provinsi (UMP) setempat.

Pidana anak dalam hukum Islam

Pakar hukum Islam asal Mesir, Syekh Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy menjelaskan pidana dalam pandangan Islam dapat dikategorikan menjadi kejahatan terhadap jiwa, kejahatan terhadap agama, kejahatan terhadap akal, kejahatan terhadap keturunan dan kehormatan, serta kejahatan terhadap harta.

Menurutnya, hukuman bagi pelaku kejahatan mengandung dua dimensi, yaitu akhirat dan dunia. Adapun hukuman yang berlaku bagi pelaku pidana yang masih berusia anak-anak adalah diat, kafarat, dan ta’zir.

Sementara batasan usia anak yang dinilai masuk dalam kategori belum bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah mereka yang berusia di bawah tujuh tahun. Pada usia tersebut, hukum Islam melarang memberikan hukuman bagi pelaku pidana anak baik berdasarkan aturan keluarga maupun negara.

Lebih lanjut, Audah menjelaskan bahwa indikator dewasa sebagai batas diperbolehkannya hukuman pidana bagi anak adalah pernah ikhtilam (mimpi basah) bagi anak laki-laki dan menstruasi bagi anak perempuan. Meskipun begitu, beberapa ulama mazhab juga telah menetapkan batas usia bagi usia kedewasaan seseorang, seperti Imam Syafi’i dalam al-Umm yang menyebutkan bahwa batas dewasa adalah ketika anak telah sempurna berusia 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang sudah ikhtilam atau perempuan yang sudah haid sebelum mencapai usia tersebut.

Audah mengatakan, pelaku pidana anak yang belum berusia dewasa hanya bisa dikenakan ta’dibi, yaitu hukuman yang bersifat memberi pelajaran yang tidak sampai memengaruhi kejiwaan sang anak. Seorang anak tidak bisa dikatakan residivis jika mengulangi perbuatan yang sama karena ta’dibi dianggap bukanlah sebagai salah satu bentuk hukuman.

Walaupun demikian, hukum pidana Islam tidak membatasi tentang sanksi-sanksi kedisiplinan yang memungkinkan pelaksanaannya kepada seorang anak dan diserahkan kepada waliyul amri (pemerintah) untuk menetapkan hukuman bagi mereka.

Lebih lanjut, waliyul amri dapat memilih hukuman untuk anak-anak yang sesuai
dengan tempat dan zaman di mana ia berada. Seperti hukuman teguran dan pukulan, menaruh anak yang melakukan tindak pidana ke dalam lembaga-lembaga permasyarakatan atau pendidikan, dan lainnya.

Penjelasan Audah itu selaras dengan penegasan Khalifah Umar bin Khattab saat memosisikan hudud (aturan hukuman) dan qishash (balasan setimpal) bagi pelaku pidana berusia anak.

Dalam Mushannaf Abdurrazzaq, Imam Abdurrazzaq Ash-Shan’ani menjelaskan riwayat tersebut sebagai berikut:

أخبرنا عبد الرزاق عن ابن جريج قال أخبرنى عبد عزيز ابن عمر إن فى كتاب لعمربن عبد عزيز أن عمربن الخطاب قال لاقودلاقصاص فى جراح ولا قتل ولاحد ولا نكال على من لم يبلغ الحلم حتى يعلم ماله فى الإسلام وماعليه

“Abdur Razaq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia berkata, ‘Telah memberitakan kepadaku Abdul Aziz bin Umar dalam
sebuah surat milik Umar bin Abdul Aziz, bahwa Umar bin Khattab berkata, Tidak ada pembalasan, tidak pula qishash dalam suatu tindakan melukai, tidak pula hukuman eksekusi, dan hukuman had bagi orang yang belum mencapai usia baligh, hingga ia mengetahui apa dan bagaimana hak dan kewajibannya dalam Islam.”

Dalam pembahasan lain, sejumlah ulama juga menekankan untuk memberlakukan hukuman ta’zir kepada pelaku pidana anak. Ta’zir menurut bahasa adalah mencegah dan menolak agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Sedangkan menurut istilah, Abu Hasan Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah menjelaskan:

والتعزير تأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود

Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syariat.”

Sementara itu, menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dijelaskan:

وهو شرعا: العقوبة المشروعة على معصية أو جناية لاحد فيها ولا كفارة

“Ta’zir menurut syariat adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kafarat.”

Dasar utama pemberian ta’zir ini berlandaskan pada semangat perlindungan anak yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw. Rasulullah bersabda:

عن عمربن سعيب عن ابيه عن جده قال رسول االله صلي االله عليـه وسـلم مـروا أولادكـم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين وإذا بلغ عشر سنين واضربوهم عليهـا وهـم أبنـاء عشـر سـنين وفرقـوا بينهم فى المضاجع

“Perintahkan anak-anak melakukan salat bila mereka telah berusia tujuh tahun, bila 10 tahun boleh dipukul dan pisahkan tempat tidur mereka (HR. Abu Daud).

Pukulan sebagai salah satu hukuman ta’zir bagi anak pun harus dengan syarat tidak menimbulkan luka. Jika pukulan kepada anak menimbulkan luka apalagi hingga membuat cacat dan kematian, maka itu dihukumi sebagai tindakan yang berlebihan.

Lantas, apakah pelaku pidana anak seperti AG masih sesuai dengan pembahasan tersebut jika dilihat dari usia dan peran sertanya dalam perbuatan keji bersama pelaku lainnya tersebut? Wallahu a’lam.

Baca artikel kami lainnya di Google News.