Ikhbar.com: Masyarakat muslim di Indonesia merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw dengan beraneka ragam cara. Biasanya, mereka mengekspresikan peringatan Maulid Nabi dengan budaya lokal setempat.
Meski demikian, beberapa muslim di Indonesia kerap kali memperdebatkan terkait hukum memperingati Maulid Nabi ini.
Mereka yang menolak tradisi Maulid Nabi berdalih bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Nabi, atau menyebutnya dengan bid’ah. Mereka menganggap tidak ada dalil untuk melaksanakannya.
Menyoal perdebatan hukum perayaan Maulid Nabi, KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha menjelaskannya dengan logika sederhana.
Dikutip dari akun Instagram @ulama.nusantara, Gus Baha menjelaskan bahwa peringatan Maulid Nabi itu pada dasarnya harus dilandasi dengan perasaan senang.
Gus Baha mengibaratkan tentang bagaimana jika seseorang ketika melahirkan anak. “Meski anaknya terlahir kriting, hitam, gendut, wajahnya mirip dengan bapaknya. Tapi ia tetap mengaqiqahi anaknya tersebut sebagai rasa senang dan syukur,”
Baca juga: Tunjangan Profesi Guru dalam Tinjauan Fikih
Padahal, kata Gus Baha, prospek anaknya tersebut belum jelas. Ia nanti nakal atau tidak. Meski demikian, Gus Baha meyakini bahwa bapaknya pasti tetap merasa senang dan bersyukur
“Loh, ini lahirnya Nabi, disenang-senangkan kok malah diragukan,” kata Gus Baha.
Artinya, lanjut Gus Baha, kelahiran Nabi Muhammad jelas dipastikan membawa kebahagiaan dunia akhirat.
“Loh ada orang senang dengan kelahiran Nabi Muhammad kok dipermasalahkan? Itu pakai logika apa? Anak kita yang lahir nggak jelas masa depannya saja kita senang. Kira-kira begitulah logika-logika maulid,” ujar santri KH Maimun Zubair itu.