Ikhbar.com: Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) pada Jumat, 30 Desember 2022 lalu. Presiden mengeklaim penerbitan Perppu itu demi menghindarkan Indonesia dari ancaman ketidakpastian global.
Menurut Presiden Jokowi, situasi Indonesia yang terlihat normal saat ini sejatinya masih diliputi ancaman-ancaman ketidakpastian ekomomi dunia.
“Ancaman-ancaman risiko ketidakpastian itulah yang menyebabkan kita mengeluarkan Perppu, karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum, yang dalam persepsi para investor baik dalam maupun luar. Itu yang paling penting, karena ekonomi kita ini di 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor,” jelas Jokowi.
Sementara itu, Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana mengkritik keras penerbitan Perppu Ciptaker tersbeut. Denny menuding Presiden Jokowi tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan terkesan memaksakan pemberlakuan UU Ciptaker yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
“Dengan menerbitkan Perppu Ciptaker, Presiden menunjukkan sikap tidak mau menghormati putusan MK, dan tetap memaksakan keberlakuan UU Ciptaker,” kata Denny.
Menurutnya, melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 MK telah menegaskan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat lantaran absennya partisipasi publik yang bermakna dalam pembuatannya. Sehingga, terbitnya Perppu oleh presiden ini justru semakin menegaskan bahwa ia telah mengabaikan putusan MK tersebut.
Menanggapi penerbitan Perppu Ciptaker, Presiden Partai Buruh sekaligus Ketua Serikat Buruh Said Iqbal menyatakan pihaknya menolak isi aturan pengganti UU tersebut. Perppu Ciptaker dianggap merugikan buruh.
“Partai Buruh, KSPI, dan organisasi serikat buruh, serikat petani, menolak atau tidak setuju dengan isi Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang omnibus law undang-undang cipta kerja. Tapi terhadap pilihan pembahasan hukumnya, Partai Buruh dan organisasi serikat buruh bersepakat memilih Perppu, bukan dibahas di pansus badan legislasi DPR RI,” ucap Said.
Ada beberapa hal yang diprotes oleh pihak buruh, salah satunya mengenai skema penetapan upah minimum. Pada pasal 88c ayat 1 disebutkan bahwa gubernur yang wajib menetapkan upah minimum provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
“Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi,” bunyi pasal 88c ayat 3.
Pada ayat 4 dan 5 disebutkan bahwa upah minum tersebut ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang datanya bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
“Dalam hal kabupaten/kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu,” bunyi ayat 6.
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Lalu di pasal 88d dijelaskan bahwa upah minimum akan dihitung dengan menggunakan formula yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan Upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menariknya dalam Pasal 88f disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88d ayat (2).