Ikhbar.com: Sekali waktu Nabi Muhammad SAW didatangi seorang laki-laki yang mengadukan kerugian yang terimanya akibat bencana banjir.
Pria itu mengadu, “Wahai Rasulullah, harta benda kami telah rusak, jalan-jalan pun terputus. Mohonkan doa kepada Allah SWT.”
Mendengar keluhan sahabatnya itu, Rasulullah berdoa. Hujan pun berhenti dan baru turun kembali pada pekan berikutnya.
Peristiwa serupa pun terulang. Seorang sahabat lainnya mengadu kembali kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, rumah-rumah telah roboh, akses jalan terputus, dan harta benda kami rusak.”
Kemudian Nabi Muhammad Saw kembali berdoa;
اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا ,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
:Ya Allah, turunkan lah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turunkan lah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.”
Setelah Nabi rampung berdoa, awan-awan di langit menjauh dari Madinah. Mirip kain yang bergeser setelah ditarik.
Namun, ulama ahli hadis Indonesia KH Ali Mustafa Yaqub dalam Al-Thuruq Al-Shahihah fi Fahmi Al-Sunnah Al-Nabawiyyah menjelaskan, konteks dan redaksi doa hadis Nabi tersebut disusun atas pertimbangan geografi Madinah yang lapang dan jarang pepohonan.
Madinah, tentu berbeda dengan misalnya, Jakarta yang justru dikelilingi kota berdataran tinggi dan memiliki banyak pepohonan. Curah hujan besar yang diharap beralih di kota-kota tersebut bisa-bisa kian mengkhawatirkan.
Imam Besar Masjid Istiqlal yang wafat pada 2016 itu pun menawarkan redaksi doa;
اللَّهُمَّ عَلَى البحر لَا عَلَيْنَا وَلَا حَوَالَيْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan di laut, jangan di wilayah kami, dan di sekitar kami”.
Kiai Mustafa Ya’qub memandang penting memahami hadis tidak sebatas pada teks, akan tetapi juga menimbang konteks dan asbabul wurud (sebab-sebab diturunkannya hadis).