Ikhbar.com: Ukraina memperingati 1.000 hari sejak dimulainya invasi skala penuh Rusia pada 2022 lalu. Hingga kini, pertempuran masih terus berkecamuk di berbagai front. Ukraina kerap menghadapi serangan drone dan rudal yang intens.
Sementara itu, para pejabat Ukraina bersiap menghadapi kemungkinan Donald Trump kembali menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) pada Januari 2024 mendatang. Sebagai kabar baik bagi mereka, Presiden AS Joe Biden telah memberikan izin penggunaan rudal buatan AS untuk menyerang target di wilayah Rusia yang lebih dalam.
“Langkah ini diharapkan dapat membatasi kemampuan Rusia dalam meluncurkan serangan dan memasok garis depan,” ujar seorang pejabat Ukraina, sebagaimana dikutip dari Reuters, Selasa, 19 November 2024.
Baca: Ada Tulisan ‘Pempek Palembang’ di Tank Perang Rusia Vs Ukraina, Kok Bisa?
Namun, para analis militer memperingatkan bahwa langkah tersebut tidak akan cukup untuk mengubah jalannya perang yang telah berlangsung selama hampir tiga tahun. Selain itu, perubahan kebijakan signifikan ini berpotensi dibatalkan jika Trump kembali ke Gedung Putih.
Trump sebelumnya berjanji akan mengakhiri perang dengan cepat, meskipun ia tidak merinci bagaimana caranya.
Invasi Rusia telah menyebabkan ribuan warga Ukraina kehilangan nyawa, lebih dari 6 juta orang hidup sebagai pengungsi di luar negeri, dan populasi negara tersebut menyusut hingga seperempat. Perang ini telah menjadi konflik terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Kerugian militer di kedua belah pihak dilaporkan sangat besar, meskipun angka pastinya dirahasiakan.
“Berdasarkan perkiraan intelijen Barat, ratusan ribu tentara dari kedua belah pihak telah tewas atau terluka,” kata seorang sumber keamanan Ukraina.
Di setiap sudut Ukraina, dampak perang terasa nyata. Pemakaman militer telah menjadi pemandangan biasa di kota-kota besar hingga desa-desa terpencil. Masyarakat menghadapi malam-malam panjang yang diwarnai sirene serangan udara dan kecemasan yang terus-menerus.
Di sisi lain, kembalinya Trump ke Gedung Putih menimbulkan ketidakpastian atas keberlanjutan bantuan militer AS dan dukungan Barat melawan Rusia. Situasi ini juga membuka kemungkinan negosiasi untuk mengakhiri perang. Namun, di lapangan, eskalasi justru meningkat.
Moskow dan Kyiv sama-sama berupaya memperkuat posisi mereka sebelum kemungkinan pembicaraan damai.
Rusia, yang mendapat dukungan drone dari Iran serta peluru artileri dan rudal balistik dari Korea Utara, kini mengerahkan 11.000 tentara Korea Utara.
“Beberapa pasukan Korea Utara telah terlibat bentrok dengan pasukan Ukraina di wilayah Kursk,” ujar seorang pejabat Ukraina.
Baca: Ukraina Bikin Prangko Bergambar Presiden Prabowo
Sementara itu, Ukraina berjuang mempertahankan wilayah kecil di Kursk yang direbutnya pada Agustus lalu sebagai alat tawar-menawar.
“Ada sekitar 50.000 tentara Rusia di sana, dan kami telah mengerahkan pasukan terbaik untuk bertahan,” kata pejabat Ukraina.
Sedangkan pasukan Rusia juga mencatat kemajuan signifikan di Ukraina timur dan meningkatkan tekanan di timur laut serta tenggara.
Serangan udara Rusia terhadap infrastruktur energi Ukraina juga kembali meningkat. Pada Ahad, 17 November 2024, Rusia meluncurkan 120 rudal dan 90 drone, menjadikannya serangan terbesar sejak Agustus lalu.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menegaskan bahwa negaranya harus berupaya mengakhiri perang melalui jalur diplomasi pada 2025.
“Kami ingin perdamaian, tetapi hanya dengan jaminan keamanan yang nyata,” ujarnya.
Zelenskiy juga menolak pembicaraan gencatan senjata yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Di Kyiv, sudut Lapangan Kemerdekaan kini dipenuhi lautan bendera kecil untuk menghormati para korban perang.
“Kami ingin memperingatkan semua pihak: tidak akan ada ‘Minsk 3’. Yang kami butuhkan adalah perdamaian yang nyata,” kata Zelenskiy.
Sementara itu, Kremlin tetap bersikukuh pada tuntutannya agar Ukraina menghentikan ambisi bergabung dengan NATO dan mundur dari empat wilayah yang sebagian besar dikuasai pasukan Rusia.
“Tujuan kami tidak berubah,” tegas Presiden Rusia Vladimir Putin.