Ikhbar.com: Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh dikabarkan tewas pada Rabu, 31 Juli 2024 di Teheran, Iran. Ia meninggal dunia akibat pasukan Israel yang mengepung markasnya di negeri para Mullah itu.
“Kediaman Haniyeh di Teheran, ibu kota Iran diserang dan ia terbunuh bersama seorang pengawalnya,” kata Garda Revolusi Iran dikutip dari AFP pada Rabu, 31 Juli 2024.
“Kediaman Ismail Haniyeh, kepala kantor politik Perlawanan Islam Hamas, diserang di Teheran, dan sebagai akibat dari insiden ini, ia dan salah seorang pengawalnya menjadi martir,” tulis mereka.
Baca: Bela Palestina, Turki Ancam Serang dan Duduki Israel
Kematian Ismail Haniyeh juga dikonfirmasi oleh kelompok Hamas. Mereka menyebut bahwa pimpinannya itu berada di Iran untuk mengikuti pelantikan presiden baru.
“Saudara, pemimpin, mujahid Ismail Haniyeh, kepala gerakan, tewas dalam serangan Zionis di markas besarnya di Teheran setelah ia berpartisipasi dalam pelantikan presiden baru (Iran),” kata kelompok Hamas.
Sebelumnya, Ismail Haniyeh terbang ke Iran pada Selasa, 30 Juli 2024 untuk menghadiri upacara pelantikan Presiden Iran, Masoud Pezeshkian.
Meski demikian, hingga berita ini disunting belum ada pernyataan resmi dari Israel atas kematian pimpinan Hamas itu.
Diduga, kematian Ismail Haniyeh itu dilandasi janji Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu yang sebelumnya bersumpah untuk menghancurkan Hamas dan membawa kembali semua sandera yang ditawan selama serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Profil Ismail Haniyeh
Nama Ismail Haniyeh cukup dikenal oleh penduduk Palestina. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Palestina pada 2026 yang lalu.
Kemudian pada 2017, ia terpilih sebagai kepala biro politik Hamas pada tahun 2017 untuk menggantikan Khaled Meshaal.
Ismail Haniyeh bergabung dengan Hamas pada tahun 1987 ketika kelompok militan tersebut didirikan di tengah pecahnya intifada Palestina pertama, atau pemberontakan, terhadap pendudukan Israel yang berlangsung hingga tahun 1993.
Ismail Haniyeh banyak hidup di pengasingan dan membagi waktu antara Turki dan Qatar. Hal itu dilakukan karena ia dicap sebagai tokoh yang pragmatis.
Selama konflik Hamas-Israel belakangan ini, ia berlalulalang pergi ke Iran dan Turki untuk menjalankan misi diplomatik. Ia dianggap mampu menjaga hubungan baik dengan para pemimpin berbagai faksi Palestina, termasuk para pesaing Hamas.