Ikhbar.com: Demokrasi di Indonesia tidak bisa dibenturkan dengan agama. Keduanya harus berjalan beriringan demi terciptanya kerukunan anak bangsa.
Demikian disampaikan eks narapidana terorisme (napiter), Munir Kartono usai mengikuti program deradikalisasi yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu.
Munir menegaskan, Pemilu 2024 merupakan bagian dari proses demokrasi. Karenanya, ia mengajak masyarakat untuk menyukseskan lima tahunan itu dengan aman, damai, dan lancar.
“Masyarakat perlu memahami bahwa pemilihan umum adalah proses berdemokrasi di Indonesia yang telah diatur oleh konstitusi, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,” kata Munir kepada awak media pada Rabu, 24 Januari 2024.
Menurutnya, tidak tepat jika ada individu atau kelompok yang membenturkan pemilu dengan tafsiran agama. Tidak benar bila ada yang mengatakan proses demokrasi tidak sesuai dengan syariat Islam.
“Pendapat tersebut sangat berbahaya. Sebab hal itu dapat membahayakan persatuan Indonesia,” ujar sosok yang pernah menjadi sahabat Bahrun Niam, salah seorang pentolan ISIS Indonesia itu.
Baca: Mengapa Santri Harus Aktif di Medsos? Begini Penjelasan Kang Zaman
Ia berharapan, Pemilu 2024 yang digelar pada 14 Januari mendatang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan positif.
“Pemilu tidak berkaitan dengan status keimanan seseorang, dan apapun pilihannya, tidak boleh digunakan untuk memutuskan kekafiran dan keislaman seseorang,” ujar Munir.
Cinta NKRI
Munir yang dulu bertugas mencari pendanaan secara daring melalui bitcoin itu menceritakan pengalamannya selama mengikuti program deradikalisasi BNPT.
Kegiatan yang ia lalui sejak awal masa penahanan itu, Munir mengaku bahwa kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi dirinya.
“Kegiatan berupa dialog, diskusi, brainstorming oleh pembina dari BNPT, Densus 88 Antiteror Polri, akademisi hingga tokoh agama,” jelas dia.
Ia menjelaskan, para napiter yang mengikuti program deradikalisasi mendapat pembinaan secara berkesinambungan, termasuk ketika berada di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).
Lebih lanjut, Munir mengatakan bahwa puncak dari proses deradikalisasi yang dijalankan para napiter terjadi ketika dipindahkan ke Pusat Deradikalisasi BNPT.
“Saya mendapat pembinaan yang komprehensif, mencakup aspek keagamaan, wawasan kebangsaan, psikologi serta melibatkan banyak pihak dari akademi hingga tokoh masyarakat,” katanya.
Menurut Munir, pembinaan agama dan wawasan kebangsaan menjadi titik balik baginya untuk mencintai NKRI. Padahal sebelumnya, ia terpapar paham radikalisme.
Baca: Nazar Pemilu? Ini Hukum dan Ulasannya menurut Fikih
“Dulu saya mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara thoghut yang tidak menjalankan syariat Islam,” ucapnya.
Namun, pandangannya mulai terbuka setelah mendapat pemahaman baru tentang Maqashid Syariah, dan sejarah peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia.
Setelah menjalani program deradikalisasi, Munir mengubah pandangan radikalnya menjadi pemahaman yang luas sesuai dengan semangat Pancasila dan NKRI.
Selama program deradikalisasi, Munir melakukan banyak dialog dan berbagai interaksi dengan para ahli agama, tokoh masyarakat. Ia menyadari bahwa pemahaman sebelumnya keliru dan membahayakan keselamatan orang lain.
Munir menyoroti peran tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memberikan pencerahan dan pengetahuan kepada masyarakat, terkait pandangan terhadap potensi segregasi (pemisahan antar kelompok) dalam masyarakat, terutama melalui isu-isu agama dalam konteks pemilu.
Munir menambahkan, di atas konstitusi Indonesia ada banyak agama dan kepercayaan yang dijamin untuk bisa tumbuh dan berkembang, termasuk Islam.
“Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk mengklaim Indonesia adalah negara thoghut karena tidak sesuai dengan Syariat islam,” kata Munir.