Ikhbar.com: Laporan terbaru Dana Kependudukan PBB (UNFPA) menunjukkan angka kelahiran dunia mengalami penurunan drastis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Survei terhadap 14.000 responden di 14 negara mengungkap, satu dari lima orang tidak memiliki atau tidak yakin bisa memiliki jumlah anak yang mereka inginkan.
UNFPA mencatat, tekanan ekonomi kini menjadi pola global. Laporan ini merupakan peringatan paling tegas lembaga tersebut soal krisis fertilitas (kesuburan).
“Dunia sedang memasuki fase penurunan fertilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagian besar orang ingin punya dua anak atau lebih, tetapi merasa tidak mampu mewujudkannya. Inilah krisis yang sesungguhnya,” ungkap Direktur Eksekutif UNFPA, Dr. Natalia Kanem, dikutip dari BBC News, pada Selasa, 10 Juni 2025.
Baca: Angka Kelahiran Menurun, TK di China Banyak yang Tutup
Faktor finansial menjadi penghalang utama. Sebanyak 39% responden mengaku biaya hidup menjadi alasan utama menunda atau membatasi jumlah anak. Angka tertinggi tercatat di Korea Selatan (58%) dan terendah di Swedia (19%).
Masalah infertilitas (ketidaksuburan) justru hanya disebutkan oleh 12% responden secara global, meski lebih tinggi di beberapa negara seperti Thailand (19%) dan India (13%).
Selain faktor ekonomi, kurangnya waktu juga menjadi hambatan besar.
UNFPA memperingatkan agar negara-negara tidak merespons penurunan fertilitas dengan kebijakan panik atau manipulatif.
Baca: Survei: 80 Persen Warga Jepang Yakin Penurunan Kelahiran Anak akan Berdampak
Sejarah menunjukkan, negara seperti Cina, Jepang, dan Thailand pernah khawatir kelebihan penduduk, tetapi kini justru berusaha meningkatkan angka kelahiran.
“Kita harus menghindari kebijakan nasionalis, anti-imigran, atau konservatif yang memakai dalih krisis demografi,” tegas Prof. Stuart Gietel-Basten dari Hong Kong University of Science and Technology.
Penurunan fertilitas global bukan hanya soal statistik, tetapi menyangkut pilihan hidup dan kesejahteraan keluarga. UNFPA mendorong pendekatan yang lebih manusiawi dan kontekstual dalam merumuskan kebijakan populasi ke depan.