Ikhbar.com: Parlemen Irak telah mengesahkan undang-undang kontroversial yang memungkinkan anak-anak berusia sembilan tahun untuk menikah. Keputusan ini memicu kemarahan dari kelompok hak-hak perempuan dan anggota parlemen, yang mengecamnya sebagai bentuk pelecehan terhadap hak asasi manusia.
Sejumlah aktivis dengan tegas menyebut bahwa kebijakan ini “melegalkan pemerkosaan anak.”
Undang-undang tersebut memberikan kewenangan penuh kepada otoritas agama untuk mengatur urusan keluarga, termasuk pernikahan, perceraian, dan perwalian anak. Aturan ini sekaligus menghapus larangan pernikahan anak di bawah usia 18 tahun yang telah berlaku sejak era 1950-an.
Seorang pengacara dan salah satu penentang utama kebijakan ini, Mohammed Juma, menyatakan bahwa undang-undang tersebut menandai kemunduran besar dalam perlindungan hak-hak perempuan dan anak-anak di Irak.
Baca: Pernikahan Agnostik maupun Ateis tidak Sah menurut MK
“Kita telah mencapai akhir dari hak-hak perempuan, dan akhir dari hak-hak anak di Irak,” tegas Juma, dikutip dari The Guardian, pada Ahad, 26 Januari 2025.
Kelompok aktivis juga mengkhawatirkan penerapan aturan ini secara retroaktif, yang dapat merugikan hak-hak perempuan dalam kasus perceraian, alimony (nafkah pascaperceraian), dan hak asuh anak yang telah diajukan sebelum undang-undang ini diberlakukan.
Anggota Koalisi 188, Raya Faiq, mengungkapkan keprihatinan serupa. Ia menceritakan rekaman seorang perempuan yang menangis karena suaminya mengancam akan mengambil putrinya jika ia tidak menyerahkan hak finansialnya.
Masalah pernikahan anak sendiri bukanlah isu baru di Irak. Menurut survei PBB pada 2023, sekitar 28% anak perempuan di negara itu menikah sebelum usia 18 tahun.
Baca: Perceraian Itu Solusi atau Bencana? Begini Penjelasan Ning Uswah
Meskipun beberapa pihak menganggap pernikahan anak sebagai solusi keluar dari kemiskinan, banyak pernikahan tersebut berakhir dengan kegagalan, dan meninggalkan dampak buruk seumur hidup bagi perempuan muda.
Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.