Pernikahan Agnostik maupun Ateis tidak Sah menurut MK

Ilustrasi: Wisegeek

Ikhbar.com: Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pernikahan seorang yang menganut paham agnostik maupun ateis tidak sah. Pasalnya, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan.

“Sehingga Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan konstitusi,” ujar Hakim Konstitusi, Arief Hidayat dikutip dari Antara pada Sabtu, 4 Januari 2025.

Agnostik sendiri merupakan orang yang meragukan keberadaan Tuhan. Mereka berpendapat bahwa ada atau tidak adanya Tuhan maupun fenomena supernatural merupakan hal yang tidak dapat diketahui.

Sedangkan ateis adalah orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Aliran ini merupakan paham atau filosofi yang percaya bahwa Tuhan maupun Dewa itu tidak ada keberadaannya. Ateis merupakan orang yang menolak paham teisme disertai dengan klaim.

Baca: Buku Nikah Ganti Format, Ini Model Baru yang Berlaku mulai Oktober 2024

Untuk itu, Arief menegaskan bahwa aama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan.

Penegakkan MK ini bermula saat dua orang warga negara yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, yakni Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Keduanya beranggapan bahwa pasal tersebut membatasi mereka untuk membentuk keluarga secara sah. Sebab menurutnya ketentuan normannya dinilai tidak mengakomodasi warga negara yang tidak memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menjawab hal itu, Arief menjelaskan bahwa beragama dan berketuhanan merupakan suatu keniscayaan. Sebab hal itu sebagai perwujudan karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

“Tidak adanya ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan pembatasan yang proporsional dan bukanlah bentuk diskriminasi terhadap warga negara, ” tegas Arief.

Pihaknya meyakini bahwa perkawinan tidak terlepas dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya, Pasal 1 UU Perkawinan pun mengatur bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” katanya.

Ia menehaskan, perkawinan dapat dikategorikan sebagai forum eksternum dan negara dapat ikut menentukan tata cara dan syarat-syaratnya. Pasalnya, unsur tersbut merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama atau berkepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.

“Maka dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara pun menyerahkan perkawinan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditentukan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, ” ucapnya.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, ucap Arief, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum.

Di dalam perkara yang sama, Raymond dan Teguh turut menguji UU KUHP baru, tetapi dinyatakan tidak dapat diterima MK. Selain itu, keduanya juga menguji UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang sama-sama berakhir kandas karena ditolak untuk seluruhnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.